Mengapa Harus ADA penantian?!

Mengapa harus menunggu??? Sedang kenangan lebih baik daripada masa depan. orang-orang dari masa lalu yang telah pergi, mungkin lebih baik tidak kembali. karena kita tidak pernah tahu, apakah dengan kembalinya ia, semua akan menjadi lebih baik. Aku-pada suatu waktu-pernah membuka kotak pandoraku, isinya masa lalu. Lalu aku menemukan sebuah foto, seorang gadis dengan pipi semerah apel tertawa sambil memegang album gambar sailormoon di tengah foto. Kerinduan menyentakku. Lalu sujud-sujudku menjadi dipenuhi namanya. Shalat malamku dipenuhi nasihat-nasihat bijaknya, keriangannya, kepolosannya, mata bulat yang begitu berbinar dari gadis mungil piatu itu. Aku mendesak Tuhan. saat prahara dalam hidupku semakin tak tertahankan, aku menuntut, "Tuhan, kembalikan malaikat kecil itu kepadaku!!!" Tuhan Maha Mendengar. Ia mempertemukan aku dengan malaikat kecil itu, di gerbang sekolahku yang baru. Aku terpana. Tapi ia bukan malaikat kecilku lagi. semua bayangan indah tentang pertemuan dua orang kawan lama sirna. ia yang saat itu dikelilingi ganknya, hanya menyapaku sekilas. Lalu melenggang dengan wajah yang sama sekali tidak kukenal. Tak ada senyum polos, hanya tawa cekikikan yang memusingkan. Tak ada pipi semerah apel, hanya wajah khas remaja yang dihantam pubertas. Tak ada nasihat-nasiha, hanya gosip-gosip "western" yang begitu bising. semua sunyi. Kuharap Tuhan tidak pernah mengabulkan doaku. Kenangan itu, kenapa harus dikejar??? Terkadang, merasa rindu saja sudah cukup. Karena rindu adalah menyangkut masa lalu. Sedang masa depan, adalah hal yang berbeda. Tuhan tidak pernah salah. Manusia yang bersalah.

KAkakku CHayank

Kakakku satu-satunya, Febri Nurrahmi adalah Mahasiswi UI jurusan Ilmu Komunikasi FISIP yang sangat idealis dan membanggakan. Ia memang telah menunjukkan bakat sebagai orang besar sejak kecil. Ia cerdas, pandai bicara dan berdebat, serta pantang menyerah. Agak perfeksionis memang, tapi ini memang ciri orang besar. ia sangat suka belajar, meski berulang kali mengatakan bahwa ia jarang belajar, tapi aku paling tahu bagaimana seriusnya ia saat membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Ia pandai dalam semua pelajaran, tapi bakatnya paling menonjol dalam pelajaran fisika dan kimia. Ia sangat lemah dalam pelajaran olahraga dan selalu menjadi yang paling buncit dalam setiap event atletik. Dari segi fisik ia juga cukup oke, standar untuk rata-rata wanita Indonesia. Wajahnya agak tirus, hidungnya cukup mancung dan tidak punya buah pipi. Senyumnya manis dan selalu penuh percaya diri. Tingkah lakunya juga menyenangkan. Ia supel dan cepat akrab dengan setiap orang. Meski baru pertama kali mengenal dan berbicara dengannya, orang sudah merasa nyambung dan cocok dengannya. Ia tahu cara menghargai orang lain, baik yang lebih muda, sebaya, maupun yang lebih tua. Adik kelas dapat bermanja dengan nyaman padanya, teman sebaya mencurahkan segala ganjalan dalam hati mereka padanya, dan orang yang lebih tua terpikat dengan segala sopan santun dan tutur katanya. Namun yang menjadikan aku menyayangi dan sangat bangga padanya bukanlah semua kelebihannya yang telah kusebutkan sebelumnya. Aku sayang dia meski dia tidak cerdas, pandai berpidato, dan cantik. Aku juga sayang dia meski dia cerewet, suka bawel, egois, dan suka menggurui. Aku sayang dia karena dia adalah kak ami-ku. Satu-satunya kakak perempuanku yang selalu melindungiku sejak aku kecil dari segala macam gangguan (meski sikap sok pelindungnya itu malah sering bikin aku jatuh dalam masalah sih L ), juga paling mengerti tentang segala bentuk keegoisan dan ‘brutalisme’ yang sering terjadi di antara kami. Tapi dibalik semua sikap superiornya, aku ngerti bahwa ia merasa lemah. Sama dengan banyak anak broken home lainnya, ia punya perasaan gak berharga dan takut tersakiti. Ia menutupinya dengan sikap pede cenderung sombongnya itu. Aku gak tahu apa ini sedikit demi sedikit akan menghilang. Aku kadang bingung juga gimana harus bersikap padanya. Apa harus marah-marah, lembut kalem, atau justru melankolis? Memang kadang-kadang aku cemburu dan merasa iri hati padanya. Aku merasa apapun yang aku lakukan, aku gak bakal sehebat dia, apalagi mengungguli dia. Tapi aku semakin lama makin sadar, aku ya aku. Dia ya dia. Kami adalah dua individu yang berbeda, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan sendiri. Lengkap dengan segala karakteristik yang unik. Dulu ada masa-masa aku ngerasa gak berharga dibanding kakakku. Aku bertanya-tanya: mengapa dia bisa sangat luar biasa sedang aku tetap bukan siap-siapa? Tapi makin lama aku makin sadar dan insyaf. Sekarang aku masih bersyukur memiliki kakak yang luar biasa seperti dia. Karena jika dia tidak luar biasa seperti itu dan menjadi seperti bayang-bayang besar yang menutupi kehadiranku, mungkin aku gak bakal pernah berusaha untuk mencari kelebihanku dan terpacu untuk berprestasi. Juga berusaha untuk menemukan perlindungan dengan berusaha mendekati Tuhan dan menjadi sosok yang lebih religius… Aku berterima kasih padanya. Dan aku tetap hidup dengan penuh rasa syukur dan terima kasih hingga hari ini. Aku merasa hidup dan tidak lagi mati. Aku juga bukan tikus lemah dibalik bayang-bayang kebesaran matahari. Tapi aku adalah bintang bagi diriku sendiri dan orang di sekitarku, Insya Allah…

CiNta itu...

Cinta? “Cinta adalah sesuatu yang rumit. Jangan menyimpannya dalam hati karena kamu akan sakit.” (Spiderman) Berbicara tentang cinta memang merupakan hal yang kompleks. Tidak ada orang yang dengan sungguh-sungguh dapat mengurai maknanya dengan tepat disertai anggukan semua orang. Seorang teman pernah mengatakan bahwa cinta sebelum pernikahan itu TIDAK ADA. Wow! Kenapa? Tanya aku dengan heran saat itu. Sebab cinta adalah menerima segala kekurangan dan kelebihan dari yang dicintai dengan tulus. Sedang tidak ada momen sebelum pernikahan yang menampakkan kebaikan dan keburukan orang secara sempurna, jawabnya. Sederhana, namun membekas. Aku berpikir, benar juga ya? Yah, aku sendiri mungkin belum pernah merasakan yang namanya cinta. Sebab aku belum melewati gerbang suci bernama pernikahan itu. Tapi aku pernah merasakan suka yang mendalam pada seseorang. Rasanya... pedih. Pedih saat melihat ia bahkan tidak mengingat namaku. Pedih saat ia berbicara dengan cewek lain yang cantik dan manis. Pedih saat ia sedang berjalan dan tidak mengacuhkanku saat melintasiku. Pedih... pedih... Cinta DALAM HATI (mencontek judul lagu grup band UNGU) memang sangat tidak menyenangkan. Aku tenggelam dalam kesedihan cukup lama saat itu. Empat bulan lamanya. Sungguh waktu yang sia-sia! Menyesal? Hemm... Entahlah. Rasa suka itu memang menyebalkan, tapi anehnya, juga manis.

Global WarNing!!!

Global warming for raising price of BBM!!!
are our development sure? they will kill all. nobody can survive without food, standard house, good dress, but all things is raising.
And nature disarter, it happens often. Everyone lose their loving parent, anyone lose their life, and everyone lose their heart.
Indonesia is going to Grave. Died! Obviously, it's Real!!! There is hopeless.
Only God...
Only wishes...
Only Magic...
Can save we all.

aku dan sahabatku-part2

Ketika aku SD, SMP, aku sendirian. Tidak ada yang datang padaku. Menawarkan persahabatan, ataupun menawarkan mencicipi pahit getirnya kehidupan, indahnya pelangi masalah, dan sejuknya keringat kerja keras bersama. Tapi ketika aku SMU, seseorang itu datang. Ia menawariku persahabatan dengan senyum manis. Awalnya aku menolak, sebab aku terlalu takut dengan manisnya persahabatan. Dinginnya kesendirian terasa lebih baik dari rasa manis yang dapat meracuni, pikirku saat itu. Hanya saja renca Tuhan lebih indah. Ia tetap mengulurkan sahabat itu padaku, dan akhirnya aku—dengan malu-malu—meraihnya. Saat itu duniaku terasa begitu indah. Kami tertawa, tersenyum, menangis, juga bertengkar. Semua bersama. Lalu orang lain mulai datang dalam kehidupanku dan kehidupannya. Tapi aku tetap ingin bersamanya. Maka aku tetap menjaga senyumnya. Juga menjaga kepercayaan, dan cintanya dalam tiap sujud-sujudku. Aku merasa dunia berkembang lebih indah, lebih berasa, dan kurang kejam. Langit lebih biru, bau wangi bunga lebih harum, matahari lebih hangat, dan semua rasa lebih lezat. Persahabatan itu—sayangnya—juga tidak untuk selamanya. Ada saat-saat pasang surut. Jatuh bangun. Dan saat-saat seseorang harus pergi. Waktu itu, aku belum menyadarinya. Hingga hari itu benar-benar datang. Rasanya hening ketika hari-hari itu datang. Tidak ada kebersamaan, tidak ada janji-janji persahabatan, tidak ada diskusi-diskusi hangat, semua hilang bersama waktu. Aku mencoba bersabar. Juga menunggu. Hingga hatiku lelah dan mulai bertanya. Tiap hari aku memikirkannya; adakah ia mengingatku sekali saja sepanjang waktu perpisahan kami? Aku mengingatnya dalam tiap sujud dan penghujung do’aku; adakah ia menyebutku sekali saja dalam do’a-do’anya? Aku sedih, gelisah, dan marah kehilangannya. Tidakkah ia merasakan perasaan-perasaan yang sangat tidak enak ini? Aku menunggu.... sahabatku kembali. Aku menanti janjinya pada kesyahidan bersama di jalanNya. Aku berharap ia merindukanku dan kembali di layar ponselku. Aku berdo’a, untuk melihat senyum manisnya kembali di pintu rumahku.

SMiley MorNing

Setiap pagi adalah awal. Kita dapat memulai pagi dengan marah, cemberut, ataupun tersenyum. Lalu mengapa kita tidak mencoba memulainya dengan tersenyum?

DIfference...differeNt

Menjadi berbeda adalah sebuah pilihan. Dulu, sekarang, dan sampai kapanpun di masa depan, berbeda tetap sebuah pilihan. ada yang ingin berbeda dengan niat busuk, sepeti para "orang-orangan sawah" yang banyak muncul dengan wajah berbeda menjelang pesta-pesta pemilihan yang sekarang banyak dan sering digelar di tanah air. Ada yang ingin berbeda dengan niat suci, seperti berbedanya remaja bermasa depan dengan remaja madesu. Semua orang ingin berbeda, dan di sisi yang sama, ingin diperlakukan sama. kontraproduktif, namun sungguh terjadi.

Indonesia SEhat 2008

aku gak pernah percaya bahwa negeri ini akan sehat. Indonesia ini udah sekian lama sakit. sakitnya pun bukan sekedar sakit lokal. tapi sistemik, nyebar ke semua bagian tubuh. paru-paru, jantung, dan ginjal indonesia ini udah terinfeksi. kapan bisa disembuhkan? sedang kita malah sibuk dengan perayaaan 10 tahun reformasi tanpa menyadari, BAHWA ReFormasi telah terkubur di perkuburan massal tsunami. bersama dengan tulang belulang korban keganasan alam. rasanya hidup di Indonesia sudah sedekimian sesak. Wajar jika para cendikiawan berlomba-lomba membopong kopor ke luar negeri. menjelajahi keindahan Alpen, sejuknya es di kutub utara, eksotisme Sahara dan Gobi tentu lebih memuaskan jiwa dari pada terkepung dalam kemacetan, polusi, dan iring-iringan demonstran. Indonesia ini negeri utopis, untuk para jiwa yang sudah rusak dan kerangka korban peradaban.

Aku dan Sahabatku-part 1

mengapa sangat sulit bagi manusia untuk memilih kebahagiaan? hidup seolah menumpukkan warna-warna kelabu dimanapun mata melirik. sahabatku sakit, apa yang bisa kulakukan? "dokter" yang dia datangi mengatakan ada tiga jin merasuki tubuhnya. "Itu syirik!!!" ingin aku menjerit. tapi aku sendiri tidak dapat mempercayai keyakinanku lebih dari kepercayaan sahabatku pada "dokter itu". suaraku bahkan tidak sampai ke kerongkongan. warna warni persahabatan kami seolah memudar. dimana itu iman? dimana rasa percaya akan Allah dan hari akhir? mataku memanas. teronggokanku pedih. semangatku menyusut. Allah...kami hanya punya Engkau. masih terbayang dalam memoriku, seolah baru kemarin. kami berdua larut dalam keluguan dan kepolosan masa remaja. aku dan sahabatku menjerit ke langit. "Kami akan jadi mujahidah! berjuang untuk palestina, menyosong kesyahidan!" bahkan kini aku tidak percaya pada kepalan tangan dan janji-janji itu lagi. semua samar ditelan paruh waktu.rasanya hanya memori yang masih kami miliki. sahabatku, dengarlah isi hatiku ini.kembalilah...

DIALOG PARA BONEKA

Ruangan itu gelap dan berantakan. Di sudut ruangan teronggok pasrah setumpuk barang-barang bekas yang mungkin takkan pernah terpakai lagi, tapi sayang untuk dibuang. Biola tanpa senar, gundukan tirai-tirai tebal dengan rumbai yang telah berlubang-lubang, tumpukan kostum-kostum etnik model kuno, dan sebuah kardus besar penuh dengan gundukan pita warna-warni, kertas krep, dan pernak-pernik penghias panggung yang begitu kotor dan kumal. Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah-celah ventilasi yang berselimutkan debu tebal menahun. Berkas-berkas cahaya berhamburan ke seluruh ruangan dan menyinari sudut-sudut gelap tempat tinggall para tikus. Ruangan itu hanyalah sebuah bagian, bagian yang sangat kecil dari sebuah gedung pertunjukan tua kumuh yang akan segera dipugar dalam waktu dekat. Di sudut ruangan, tiga boneka besar seukuran manusia diletakkan. Disandarkan di lantai dalam posisi duduk. Letak mereka satu sama lain tidaklah begitu berjauhan. Mungkin begitulah posisi mereka sejak 10, 20 tahun atau pun mungkin lebih lama lain. Membeku tanpa bergeser sedikit pun. Berselimutkan debu, mereka tampak begitu kusam. Wajah mereka menunduk. Tangan tergolek di sisi tubuh. Begitu, dan akan selalu begitu dari waktu ke waktu. Waktu terus berlalu, sinar matahari yang tadinya masih bermurah hati menyinari gudang yang kotor dan kumuh itu pun mulai meredup, tampak begitu pelit untuk membagi cahaya. Rupanya sang surya telah siap kembali ke peraduannya. Dan meninggalkan ruang gelap sunyi dalam kehampaan. Kegelapan yang datang menciptakan bayang-bayang suram di dinding. Tiba-tiba, dengan sangat halus, seolah telah direncanakan lama sebelumnya, boneka satu menggelengkan kepalanya. Begitu pelan. Setitik debu terhentik. Digerakkan rahang atasnya yang seolah menempel karena terus terkatup sejak puluhan tahun lalu. Boneka lain pun mulai bergerak. Sesaat, kesunyian pecah. “Mengapa kita di sini?” Tanya boneka satu. Matanya yang dicat biru muda berputar menatap seluruh sudut ruangan. Seolah mencari jawaban. Rahangnya yang telah berkarat menimbulkan bunyi ngik, ngik yang membuat ngilu telinga setiap orang, setiap kali sepatah kata terluncur. Boneka satu mengenakan pakaian kebangsawanan—Prancis, sepertinya—yang telah robek disana sini. Dengan rambut pirang palsu yang tinggal sehelai-helai menggantung pasrah di puncak kepala kayunya. Penampilannya paling jelek diantara dua boneka lainnya. Bagian-bagian tubuhnya telah berkarat. Karena beberapa bagian tubuhnya tersusun dari besi. Kayu penyusun tubuhnya pun mulai rapuh. “Ya, mengapa? Mengapa?” Boneka 2 dan 3 menyahuti perkataannya. Mereka terjebak dalam tanya, dalam hampanya kebingungan. “Kita hanya boneka”, sahut boneka dua. Dia mengenakan gaun rimpel-rimpel yang sebagian telah dimakan ngengat. Kepalanya ditempeli rambut pirang palsu berlapis debu. Matanya yang bulat dicat biru muda. Seperti sosok Mary Antoinette yang bangkit dari kubur setelah ratusan tahun. Berbeda dengan boneka satu, rangka tubuhnya dibuat dari kayu berkualitas. Sehingga masih kelihatan bagus dan kuat, meski puluhan tahun telah berlalu. “Memangnya kenapa kalau hanya boneka?” gugat boneka tiga. Berbeda dengan kedua boneka lain, matanya berwarna coklat tua. Berpenampilan seperti wanita jawa pribumi dengan kebaya berenda bulukan dan sanggul yang menjulang bagai punuk unta. Sehelai selendang tipis yang telah berlubang di sana sini masih setia bertengger di puncak kepalanya. Apakah sihir waktu telah berlaku bagi boneka-boneka itu, dan menghidupkan mereka untuk menggugat layaknya manusia? “Kita tak punya hak bicara, bertanya. Hanya…, hanya manusia..”emosi dan kepedihan yang datar sekejap mewarnai suaranya “yang punya hak menggugat takdir Tuhan.” Boneka dua tertunduk. Bola matanya mendadak jernih. Tapi dia tak bisa, tak boleh menangis. Sebab ia hanya boneka. “Manusia juga tak punya hak menggugat takdir Tuhan!” kata-kata boneka satu yang diucapkan dengan keras mengejutkan teman-temannya.”Mereka hanya hamba. Mereka hanya boneka Tuhan. Tak jauh berbeda dengan kita.” Wajahnya menyiratkan emosi yang tajam. Hening menciut. Boneka-boneka lainnya terlalu takut untuk menjawab. Seekor laba-laba hitam mendarat di lantai semen yang beku. Mengalihkan perhatian sekejap. “Tak ada artinya semua dialog sunyi ini. Gedung ini akan segera rata dengan tanah. Hidup kita akan berakhir di tempat sampah. Lalu kobaran api angkuh akan melalap dan menyulap kita semua menjadi cuilan abu dan tumpukan karbon. Yang akan kita lakukan hanya mengisi sunyi. Semua telah ditetapkan…kita hanya bisa menanti.” Boneka dua mengeluarkan kata-katanya dengan mantap. Kepala kayunya menunduk pasrah. “TIDAK!!”histeris boneka ketiga. “Aku tidak mau berakhir dalam sunyi! Dalam hening yang menekan tiap jiwa! Aku ingin KEHIDUPAN!” kepala boneka tiga berputar liar. Dirinya yang berselimut debu ingin melupakan kodratnya. Bahwa ia hanyalah sesosok boneka. Hampa dan hening menyelubungi tiga boneka. Derum truk mendekat mengejutkan tiga boneka kayu. Kehadiran serombongan tamu di malam hari taklah begitu diharapkan. Tapi bagi boneka-boneka itu, siang dan malam apa bedanya? Toh mereka akan tetap disitu. Diam, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dan mereka kembali membeku dalam sunyi gudang. Waktu tak pernah berjalan dan berpihak bagi mereka. Sedikitpun tidak. Tak ada seorangpun, mungkin, yang akan menyadari kegaiban yang berlangsung sepersekian jam dalam gudang itu. Tak lama, sesosok tubuh tinggi besar melangkah memasuki ruang luas berkarpetkan debu. Sepatu bot ukuran 40 yang dipakainya meninggalkan jejak-jajak lumpur besar di lantai. Seorang lelaki brewokan. Ia mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Pandangannya menilai. layaknya mahadiraja yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang menentukan awal, dan akhir dari sesuatu. Pandangan yang congkak dan dipenuhi kepongahan. Beberapa laki-laki berseragam masuk dan mulai mengangkuti kardus-kardus berisi perlengkapan panggung. Segera saja ruang gudang yang luas ini menjadi legang dan kosong. Sedang pria penuh lagak tadi masih saja berdiri tegak. Ekor matanya mengawasi orang-orang yang sibuk memindah-mindahkan barang. Ketika kardus besar didepan para boneka diangkat, pandangannya seketika tertumbuk pada tiga sosok boneka yang tergeletak lunglai di lantai beku. Sementara para pengangkut barang tersebut keluar ruangan tanpa sedikit pun mengacuhkan kehadiran para boneka. “Jo!!!”suaranya yang keras menggelegar menggema dalam kesunyian gudang. Menghentikan aktivitas tikus-tikus yang berusaha bersembunyi dari tadi. Sesosok laki-laki tinggi dengan kaus usang bergegas berlari memasuki gudang. Langkahnya takut-takut ketika bertanya, “Ada apa tuan?” “Boneka apa itu di sudut?” Tanya laki-laki tinggi besar yang dipanggil tuan itu. “Setahu saya, dulu gedung ini adalah gedung pertunjukan—tuan tahu,tentunya—yang sering pentas dengan menggunakan boneka seukuran manusia. Boneka-boneka yang di sudut itu adalah boneka-boneka yang sering dipakai dalam pementasan. I…itu yang saya tahu tuan” dengan ragu laki-laki yang dipanggil Jo itu mengakhiri penjelasannya. “Hmmm…kelihatannya dua diantara mereka masih bagus. Mungkin bisa kita jual nanti. Tapi yang satu itu…” pandangannya berhenti pada boneka satu “…buang saja!” “Ya…baik tuan!” laki-laki itu bergerak sigap. Kelihatan dia agak kesulitan memikul boneka satu. Tapi dia berhasil juga memikul boneka satu dan menyeretnya keluar. Mata boneka satu berkilau. Lelaki brewokan dan pria itu tak menyadarinya. Tapi boneka dibelakangnya, menyimak dalam diam, laki-laki besar itu menyusul. Pintu berdebam dengan keras dibelakangnya. Samar, suara menggelegarnya menembus pintu. “Satukan boneka itu dengan sampah lainnya! Bakar saja diluar! Cepat! Besok kita harus kembali lagi untuk membereskan barang-barang yang bersisa!” suaranya semakin samar, mengiringi langkahnya yang juga semakin menjauh. Gudang tua ditinggalkan dalam sunyi dan luka yang diam. Boneka dua dan tiga terbenam dalam luka jiwa yang mereka ciptakan. Kesunyian gudang selamanya akan memenjarakan ‘jiwa’ mereka. Mereka, seolah dapat mendengar jeritan boneka satu, kengerian dan kesakitan, ketika kobaran api menghaguskan dan melumat kerangka kayunya. Dalam rasa dan indra yang seharusnya tidaklah ada dalam sesosok boneka, rasa panas api seolah menyelubungi dan melumat raga mereka. Dan selanjutnya mereka menjelma dalam wujud cuilan debu dan tumpukan arang. Adakah hak bagi mereka untuk protes? Untuk marah? “Memang,”boneka tiga mendesah “…kita hanya boneka. Tak ada…”geletar mewarnai suaranya. Tapi mungkinkah? “…jiwa yang mengisi diri. Ini hanya ilusi, ilusi yang menghampiri sejenak. Tapi mungkinkah? Mungkinkah mereka mendengar? Mungkinkah mereka tahu?” boneka tiga tenggelam dalam lautan keputusasaan dan kepedihan “…bisakah kita lepas dari kepedihan? Luka? Dan rasa sakit yang memenjarakan? Yang membuat kita sadar kita hanya boneka? Sedang manusia…takkan pernah sadar. Selamanya…mereka hanya boneka Tuhan…yang tak lebih tinggi—sedikit pun tidak—dari kita?”ratapnya. “Adakah jalan?” “Ada…mungkin ada.”lirih boneka dua. Boneka tiga terdiam. “Tapi mungkinkah asa tetap ada dalam jiwa? Apa yang kita dapat dari pemberontakan akan diri kita? Dari keinginan kita menjadi manusia seutuhnya?” boneka tiga berhenti,”…kepedihan dan rasa putus asa yang semakin membelenggu. “Apakah pinokio benar-benar ada? Mungkinkah boneka—yang hanya benda mati tak berjiwa—dapat menjelma manusia seutuhnya?”tanya pada hening. “Manusia,”sela boneka dua,”juga hanya boneka. Tapi mereka dapat protes, membangkang, bahkan menggugat Sang Pencipta,”mata boneka tiga berkilau,”…Mengapa kita tidak? MENGAPA?! Mengapa kita hanya bisa terpaku menatap dia dilalap oleh api? Mengapa kita tidak protes? Membangkang? Memberontak? Mengapa?” “Diamlah!”sentak boneka tiga.”Manusia juga tak dapat memberontak pada Sang Pencipta! Mereka hanya boneka-boneka yang bergerak dalam skenario Sang Pencipta. Karena itu boneka tolol, diamlah! Berhentilah menggugat! Berhentilah bertanya! Sadarilah kau hanya boneka!” Boneka dua terdiam, kehabisan kata-kata. Tanpa mereka sadari, ruangan itu semakin kelam, terselimuti warna malam. Kegelisahan yang mencekam seharusnya hadir. Bahkan tokek dan tikus yang biasanya selalu hadir untuk meramaikan suasana kali ini enggan untuk bersuara barang sedikit. “Biarlah…biarlah kegelisahan dan kecemasan meluluhlantakkan jiwa. Selamanya, boneka hanya boneka.”boneka tiga menatap hening.”Pinokio tetaplah boneka, walau dia telah menjadi manusia, dia tetap boneka. Hanya saja, kini dia digerakkan hanya oleh satu pencipta. Sang Pencipta. Namun dia tetap boneka. Hanya boneka…” “Pinokio diciptakan oleh Gepetto. Apa lantas Pinokio dikendalikan sepenuhnya oleh Gepetto?” “Tidak, karena Gepetto pun hanya boneka. Yang merakit Pinokio atas skenario Sang Pencipta. Tidakkah kau lihat?” “Ya, lalu biarkanlah raga kita menjelma Pinokio. Bisakah?” “Kau terlalu banyak bertanya, terlalu lancang. Sebagai boneka atau apa pun, kau tidak pantas memiliki jiwa seutuhnya!” “Aku hanya ingin tahu. Ingin melihat apa yang bisa kulihat. Jika aku hanya boneka, bukankah kau tidak berbeda? Juga laki-laki brewokan dan orang-orang yang mengosongkan rumah kita ini?” “Benar, baiklah bila begitu maumu. Katakanlah dan tanyakanlah apa lagi yang ingin kau ketahui. Aku telah lelah dengan dialog kosong ini. Tengah malam segera menjelang dan selanjutnya fajar akan datang membawa kita pada takdir baru.” “Katakan padaku, bagaimana cara kita melepaskan diri dari sunyi yang membelenggu. Dimana jiwa yang seharusnya bukan milik kita hadir tanpa diminta?” “Bakar jiwa itu, buanglah dan lemparkan jauh-jauh dalam kediaman ruang dan kegelapan fana. Waktu kita telah habis…” Entah dimana…jam berdentang dua belas kali. Boneka dua dan tiga menunduk. Kembali ke posisi semula. Posisi yang telah mereka tempati 10, 20 tahun lalu atau mungkin lebih lama lagi. Mungkin mereka takkan disitu selamanya. Tapi mereka akan diam dan membeku—kembali—selamanya. Begitu, dan akan selalu begitu. Mungkin dialog usang mereka hanya akan tersimpan sebagai satu dongeng tentang gedung tua yang akan segera dipugar…