Yang (kadang) Tak Tersentuh

Di tengah maraknya pemberitaan tentang genoicide di Palestina, banjir di seantero negeri, gempa di papua, dan sederet kesedihan lain. dan orang-orang yang teraniaya...

Terkadang, ada yang lebih dekat yang terlupa.

Yang sangat dekat di sisi, tapi terluput dari sentuhan, terluput dari doa...

Mengenang seorang sahabat, yang saat melihatnya terasa begitu asing.

Ah, dimana kebersamaan kami dulu, saat makan malam berdua sepulang dari mushalla, dalam masa2 indah kami di SMA berasrama? kemana semua kenangan indah pulang malam karena menjenguk seorang teman yang frustasi dan hampir bunuh diri? juga saat berhujan-hujan menelusuri jalan, bercerita tentang hikmah?

Adakah satu memori dalam benaknya, saat kami berdua saling menangis saat memuhasabahi diri yang lalai? apakah ia masih teringat saat kami berjanji untuk berjihad bersama kelak?

Saat saling tertawa melihat kekonyolan hidup dan manusia

Saat membongkar perpustakaan Baiturrahman, mencari-cari tafsir surah Al-Ahzab ayat 59...

Saat-saat diskusi yang panjang

Saat berjalan-jalan mencari hikmah dan kebenaran...

Saat memuraja'ah hafalan Al-Qur'an...

Saat...ah, terlalu banyak keindahan itu untuk dikenang...

Untuk kukenang dalam hatiku

Dan mengapa momen itu harus terkoyak. saat aku sekedar ingin sedikit mengingatkannya yang menjauh, mengingatkannya saat melihatnya lalai, dan ia hanya berkata,

"De, saat aku butuh, tak ada seorangpun di dekatku. tidak ade, tidak juga orang lain. jadi, biarlah aku memilih sendiri jalanku."

Kerongkonganku tercekat, Allah...

Teringat akan hari-hariku yang disibukkan dengan setumpuk agenda rapat, kegiatan rutin, organisasi ini-itu, Palestina, tulisan, dan sekarang?

Ada seorang sahabat yang bahkan lupa untuk kulihat.

Dan bagaimana jika sekarang ia tidak dapat kusentuh lagi?

Hanya air mata dan doa di sisa hari- hari yang kulalui.

Karena sekarang, ia telah begitu jauh. hingga tanganku yang pendek ini, bahkan tidak mampu menggapainya lagi...

Ingatlah untuk Pulang

Segenggam surga itu ternyata ada di bumi

begitu dekat, bahkan seolah menyatu dengan jiwa dan jalannya hidup sehingga sulit terlihat

Setidaknya, hari ini aku bisa melihat surga itu.

Setelah sekian lama hidup di jalur cepat, masuk kuliah jam8-organisasi-rapat ini itu hingga hampir maghrib-pulang ke rumah udah capek, aku baru bisa melihat banyak warna dari dekat.

Dari tempat terhangat di dunia, bernama rumah. dan dari orang-orang yang kucintai, keluargaku.

Ada adikku yang selalu tersenyum saat aku pulang dengan muka merengut, resah dari kampus karena dimarahi dosen, kendala yang kuhadapi dalam menyelesaikan tumpukan tugas yang sebenarnya tidak rumit, hanya diperumit, hilang saat melihat senyumannya.

Ada mama, yang selalu setia dengan masakannya yang lezat...terlezat sedunia! dan meski kesal karena aku selalu pulang sore (kadang2 juga agak cerewet), selalu siap dengan kehangatan dan nasehat bijaknya.

Ada kakak terbaik, teman curhat yang paling setia dengan rayuan gombalnya, saat aku kesal, marah, dan menangis.

Ada ayah yang selalu dapat menenangkan suasana.

Ada... ah,banyak.

Mungkin, orang mengatakan aku sebagai orang yang sempit hidupnya. Bahkan hingga kuliah tidak pernah jauh dari orang tua. SD di tempat dekat rumah, SMP juga, SMA agak jauh sedikit, satu kali naik kendaraan umum, dan fakultasku sekarang hanya berjarak 5 menit dari rumah. hidup yang statis, di lingkungan yang itu-itu saja dengan tetangga yang itu-itu saja. tidak pernah melihat dunia.

aku juga orang terakhir yang akan diajak nginap bareng untuk menyelesaikan tugas, mabit bareng, dan hal-hal yang membutuhkan mobilitas tinggi, aku adalah orang terakhir untuk dipilih.

Kenapa? yah, karena waktu keluarku limited banget. beda dengan anak kos yang punya waktu mobilitas yang seolah unlimited.

Tapi, dibalik semua hal: kesempitan hidup, keterbatasan waktu untuk melakukan banyak hal di luar rumah, larangan ini itu dari ortu... aku tetap merasakan sebuah keindahan saat berada di rumah. Dan kehangatan ini, membuatku tetap ingin tinggal di rumah. dan tentunya rumah yang kumaksud adalah tempat dimana anggota keluarga berkumpul, tempat yang meneduhkan dan melindungi di saat yang lain menyakiti. Tempat dimana Allah meletakkan sekeping kasih sayangnya...

Semestinya tiap manusia, sejauh apapun ia pergi. Ingat akan tempat kecil yang ditinggalkannya, yang bernama: rumah. karena meski dalam keadaan sesulit apapun, dorongan keluargalah yang paling dibutuhkan. keluarga, seberapa pun terlihat menyebalkan, penuh kekurangan (karena hubungan keluarga tidak dapat dipilih), namun tetap menyimpan kasih sayang dan stok bantuan di saat-saat sulit.

Sebagai manusia yang hidup di jalur cepat, akan ada banyak orang yang datang dan pergi dalam hidup, tapi tidak ada satupun, yang menyimpan cinta yang lebih kuat dari cinta ayah-ibu, dan saudara-saudara kita di rumah. jadi dimanapun kita berada, ingatlah :home sweet home.

Dan terutama, rindulah untuk tetap kembali.

Satu Asa

Suram

Sepi

Hening (my three magic words...)

Angin berhembus membawa asa

Perasaan senyap terhempas sirna

Dimana saat-saat pertemuan kembali manusia?

Atau, haruskah berharap?

Entahlah, terkadang asa sejenak lebih dari cukup

Harus memilih, diantara dua jalan

Sekaranglah waktunya, tidak ada lagi saat untuk gugup

Allah, tunjukilah aku satu kesempatan lagi

*Januari 2009, saat hati dalam kebimbangan. Akhirnya, saat untuk memilih tiba juga...

Skeptis Sejenak

entahlah, akhir-akhir ini moodku memang naik turun seperti jet coaster. kadang rasanya senang, happy, full smile, hingga ke mood terburuk. Marah2 gak jelas, sedih gak jelas, sensi gak jelas, dsb. Hal ini terkadang menghantuiku, serius. Karena sorotan terhadap diriku dan aktivis2 dakwah dari hari ke hari semakin bertambah, dan semua terasa berat dan memojokkan.

"Ih, kok aktivis dakwah mukanya serem sih?"

"Eksklusif banget."

"Ade kenapa, lagi bad mood ya? Senyum dong."

Duh, plis deh. emang aktivis dakwah itu bukan manusia? yang merasa marah, bete dengan kesehariannya yang padat dan nyebelin, dan jenuh dengan aktivitas yang cenderung monoton itu?

Sejak dulu, aku memang selalu ngebiasain untuk cuek dengan pendapat orang. Pada tataran tertentu, aku sama sekali tidak peduli orang bilang apa. Mungkin tidak terlalu EGP, tapi aku belajar tutup telinga pada komentar negatif yang sama sekali tidak membangun. Dan itu, banyak sekali.

"Ade, kamu terlalu sensitif!" Hemm...trus?

"Kamu belum pernah punya pacar ya? iih...udah gede kok belum punya pacar sih." No comment, nanggepinnya takut dosa.

"Kenapa sih kamu gak mau jalan2 sama kita ade. gaul dikit dong." Gaul? seandainya jaminan surgaku sudah ada, pasti kulakukan.

"Ade, kamu gemukan lagi ya? diet dung. Jangan makan makanan berlemak, olahraga,dsb... dst.." Thanks to your advice, friend. Tapi apakah aku harus merelakan hariku ditelan dengan menghitung jumlah kalori yang keluar masuk?

etc...

Lelah

Hampa hingga rasanya begitu kering.

Pada akhirnya, biarlah aku melabuhkan segala sedihku, jenuhku, dan marahku pada satu titik. Hingga benar2 aku merasa lepas. Dan aku hanya berkata,

"Hidup ini benar-benar indah Rabb... indah."