Aku dan FLP-part 2

Dulu, aku udah pernah ngeposting part 1

Sila dibaca di sini

***

Sudah 3 tahun di Rumcay, dengan siklus semangat datang silih berganti.
Adakah yang berubah?
Mungkin, aku merasa semakin asing.
Sangat asing.

Orang-orang di FLP ini kebanyakan bukan lagi orang yang kukenal dulu, hanya beberapa yg kukenal dari dulu. Tapi mereka punya gank sendiri.
Aku di FLP, sering hanya berteman sunyi, renungan, dan lamunan.
Sering aku jadi gagap, tak tanggap keadaan, sebab benakku mandek disergap sunyi. Dan perasaan asing yang membuatku hampa.
Kak mar, Bang Ferhat, Kak Eqi, Kak Liza yang sangt sibuk... Semua telah berlalu secepat badai.

Tak apa, sebab ramai tak tentu baik.
Hanya aku menjadi tak terbiasa asing, setelah selama ini selalu bersenyawa dengan sempurna.
Sekarang, laiknya robot.
Kerja, kerja, kerja....
Proker, proker, proker...

Tapi ada buku-buku yang indah, yang selalu bisa membuatku tersenyum saat sepi di tengah ramai menyergap.
Ada janji bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan FLP, pada orang yang sangat kucintai., orang yang sangat amat bijaksana. Janji bhwa aku akan selalu bersama FLP hingga akhir...

Dua hal itu, mengikatku lebih dalam dari apapun. Lebih dari kerinduan akan kekompakan, lebih dari sepinya sendiri, lebih dari keinginan bebas yang menggebu-gebu.

Ada juga kecintaan akan tulisan serta keinginan membuat orang lain mencintai lebih dalam dari diriku. Keinginan ini membuatku bisa mengangkat bahu dan pergi tanpa menjadi sentimentil.

Akhirnya, aku tetap mencintai FLP. Dengan atau tanpa siapapun di dalamnya...
Cinta ini telah tertanam, dan rasanya lebih kuat....

*saat sepi mendadak menyergap. Dan ingat besok harus kembali bersua dengan sepi itu

Menikam Lelaki Hujan

Menatap ranting

Membaui matahari membakar genting
Merasai tanah menggesek permukaan epidermis
Padam, hilang, kasat

Seorang laki-laki di ujung jalan
Ah, siapa?
Mungkin hanya seorang dari masa lalu
Yang harusnya segera lenyap
Saat matahari merekah

Hujan disini
Saat langkahnya menderap mendekat
Sudahkah dia berlalu?
Bahkan wajah tak sanggup terangkat
Rindu hanya hampa
Aku tertunduk tanpa malu

Seperti itukah?
Hanya waktu yang berlari
Melewati jutaan adzan yang terus menggema
Binar
Telah 12 tahun tertinggal
Ketidakhadiran lebih manis
Nisan bernama lebih nyata

Cinta,
Telah kusiram di kebun dengan air bercampur kotoran
Hingga nyaris membuncahkan buah berair segar
Jangan kau petik!
Cukuplah bayangmu saja mengetuk
dan deru motormu menjauh hingga petang menjelang lagi
Dering telepon, bisa kau hentikan segera
Sebab tempatmu di sini telah berganti istana rayap

Mata bulat berair itu terlalu pilu
Menatapi punggungmu menjauh
Boneka plastik telah dilalap api
Ilusi tentangmu telah lenyap
Hening

*untuk lelaki hujan:13 tahun ini, mengapa tidak dibiarkan terus seperti ini?


Dia yang Bagai Nada

Dia hanya berupa nada. Hanya nada, sungguh! Serangkaian nada yang melintasi tulang-tulang pendengaran dalam suatu waktu. Seperti yang lain. Hanya saja, tidak banyak yang tahu bahwa ia tidak seperti yang lain.

Sektor Timur. Simpang Galon. Lamnyong. Jalan Teungku Nyak Arief terus hingga mencapai Mesjid Baiturrahman. Hanya itu sekilas peta hidupku di dunia nyata. Google. Email. Twitter. Facebook. Blog. Sejauh inilah pelarian hidupku di dunia maya. Datar. Samar.

Hingga ia datang dan menjadikannya berbeda.

Dia yang senantiasa hadir di kotak kecil pada sudut dunia mayaku, juga di sudut kota kecil ini, telah menjadi nada yang tidak sekedar naik ke otak, tapi juga berbelok ke ruang kecil bernama hati.

Aku tidak perlu memikirkan bibirnya yang bertindik, matanya yang gelap hampa, bahkan sumpahnya untuk mengacuhkan Tuhan hingga Tuhan memperhatikannya. Yang perlu kulihat hanya wajahnya yang tegas membayangi kornea, lalu sederet kecil bayangnya di kanan bawah layar komputerku. Orang itu, selalu hanya sebatas itu. Sebagaimana lagu yang mengalun sejenak lalu berhenti, ia juga seumpama itu. Ia juga burung. Juga ombak. Tak mungkin menahannya. Tak mungkin mengurungnya di satu ruang kecil. Karena ia akan selalu kembali ke laut. Ia akan selalu kembali terbang.

Jangan salah memikirkan tentang dia. Dia bukan pelaut yang mengiringi lautan dan benua tiap musim. Dia bukan pilot yang mengangkasa dengan burung besi tak berkepak. Dia hanya orang biasa dengan jiwa yang begitu bebas. Tak ada yang mengingkari kebebasannya. Seperti ombak, jika diciduk ia hanya air bercampur garam dan pasir.

Kekuatannya adalah kebebasannya. Kemampuan untuk tidak terikat pada peraturan. Sesederhana itu.

Orang itu... kuinsyafi sepenuh hati bukan untuk dimiliki. Kadang aku bisa dengan santai mengajaknya membicarakan pengampunan dosa dan penyucian diri. Seringkali, ia hanya menanggapi perintah Tuhan dan kebijaksanaan dengan bahasa penolakan.

Dulu, aku pernah ingin menenangkannya. Seolah melawan ombak, menekan tombol stop pada lagu yang diputar, atau menarik sayap burung yang tengah terbang tinggi.

Hingga titik ini... aku berhenti.

Berhenti kumaknai bukan menyerah.

Hanya saja kini aku sadar bahwa tidak ada guna mendiamkan ombak, mengheningkan nada, atau mencoba memaksa burung terbang merapati bumi.

Karena waktu jua yang akan membawa mereka pada akhir.

Sebagaimana dulu aku menangkapnya sebagai nada, kini aku ingin melepasnya sebagai nada juga. Jika aku pernah merasainya bagai ombak, maka aku ingin merasainya merayap pergi laiknya gelombang.Saat penglihatanku terarah ke langit, aku tetap bisa melihatnya mengangkasa. Semoga ia tidak menyentuh matahari, lalu mati.

Setelah tahun-tahun panjang, ia kembali pergi.

Pandangan, pendengaran, dan perabaku mulai menjelajah lagi..
Rupanya laut ini masih indah.
Debur kehidupan masih bergemuruh tanpa riuh.
Matahari masih menyengat.

Aku kembali bebas, sebebas-bebasnya.

*Ujong Batee, 3 Juli 2010

Saat rihlah FLP, saya mendapatkan kata ... (coba tebak:)) dan saya diminta menulis dengan kata inspiratif itu. Sayang pikiran yang tengah tercandui dengan aroma garam dan bunyi ombak tidak mampu menembus makna terdalam dari kata ajaib itu. Maka ditemani ombak yang setia menjilati kaki, saya mulai menulis tentang karakter ini, seorang tokoh Tuan tak bernama, dari embrio novel pertama yang tak pernah benar-benar hidup:)

Sebab saya lalai menjaganya tetap bernyawa

Berpikir di luar Konteks

Waktu sakit,mungkin itu adalah waktu terbaik untuk berpikir di luar konteks.
Kenapa harus berpikir di luar konteks? Sebab dalam keseharian,seringkali kita hanya berpusat pada satu hal, satu titik saja.

Sebagian orang menamainya fokus,saya menamainya BOSAN.

Tidakkah menatap pada titik yg sama itu sangat membosankn? Saya setuju pd fokus,tapi tdk setuju pada rutinitas di masalah yang itu2 saja. Kenapa? Sebab rutinitas belaka tanpa eksplorasi menjadikan pikiran seseorang mandek. Buntu.

Hidup 20 tahun bukanlah hidup dgn pengalaman 20 tahun,tapi hidup dgn pengalaman 13 tahun yg d'ulang2. Kenapa 13? Karena asumsi saya manusia pada usia 12 tahun masih bersikap seperti kanak2,dgn eksploriasi yg luas pada hidup.

Maka kali ini,topik diluar konteks yg ingin saya tuliskan adalah masalah kecil yg dibesar2kan, SARA.
***
"Pilih siapa?"
"Si R de.kamu?"
"B.knp pilih R?"
"Sebab si R org Aceh.ngapain plh B?qt kan organisasi di Aceh,hrs d'pimpin org Aceh jg."

Saya menunduk,merenung. Iya ya.. Mungkin harusnya seperti itu..

Tapi pikiran tdk mau diam.

Kenapa harus seperti itu ya? Kan semua orang jg tau kinerja dan ide B lbh bagus. Bukan berarti R tdk bagus. 80:90 jk dibandingkan. Tapi nilai R naik karena dia orang Aceh.

Ya,karena dia orang Aceh, sdng B tdk bersuku Aceh.

Saya jadi teringat masa silam. Ketika kecil, saya benci dgn semua org jawa. Yg dmksd jawa ini adalh non aceh. Karena saya belum mengerti ada suku padang, batak, dll. Maka selain aceh semua saya cap "jawa".

Kenapa?

Jika ditanya, saya jg tdk begitu ingat. Yang saya tahu, dalam benak saya wkt kecil, semua orang Jawa itu serakah. Mereka masuk ke tanah Aceh dan merampas tanah, harta kekayaan, dan penghidpn rakyat Aceh. Saya ingat samar2 saudara2 saya jika berkumpul waktu lebaran akan membicarakan tentang tentara jawa yg membunuh tengku ini, orang jawa yg merampas tanah ayawa di kampung, dll..

Saking bencinya dgn orang jawa atw non aceh, jk dulu saya naik angkutan umum,saya akan memastikan tdk ada org non aceh di dlmnya. Jika ada, lbh baik tdk usah naik. Jk terlanjr naik dan sadar ada org non Aceh dlm angkutan umum tsb,saya akan memalingkan wajah dan tdk menyahuti jk org itu mengajak ngobrol.

Ketika kuliah, lingkungan saya tdk lagi homogen. Saya berjumpa dgn org dari berbagai suku, bahkan agama. Jika saya harus menghindari mereka, maka seolah saya menghindari separuh angkatan.

Firman Allah dalam Al-Hujurat ayat 13 belum juga (dan tdk akan pernah) berubah. Telah beberapa kali saya membacanya,tapi saat berada dalam heterogenitas ini maknanya mulai saya pahami.

Keburukan bukanlah milik satu ras atau satu suku. Apakah semua org Aceh baik? Belum tentu. Bibit unggulan? Tidak jg.

Sekarang isu SARA (kecuali agama) bagi saya sudah basi. Kbnykn sahabat saya di kampus malahan bukan orang aceh. Ada orang jawa, medan, padang, dll. Di semua organisasi yang saya ikuti juga selalu ada beragam suku, kecuali FLP mungkin, yang hampir 100% orang aceh.

Tapi, mendengar jawaban dari teman saya yang tadi, yg rupanya belakangan saya dgr hmpr di semua organisasi yg saya masuki, ah... Sedih.

SARA belum basi rupanya.

My 1st Embryo

Suatu hal yang remeh, bisa jadi sangat penting

Begitu juga sebaliknya. Sesuatu yang penting, bisa jadi jg sangat remeh.

Lalu,apa yang hilang dari kita?
mungkin kerja keras,mungkin juga usaha. Seringkali, memantik ide untuk timbul,tumbuh,dan berkembang itu sulit. Kreatifitas datang dan pergi secepat pelari lomba maraton

Oke, lupakan bualan saya.
Saya hanya ingin menceritakan sebuah kisah yang remeh. Sangat remeh sebetulnya. Jadi,jika anda sedang kebelet dan ingin cepat-cepat menuntaskan membaca, saran saya segera tutup halaman ini dan pergi ke WC. Karena setelah membaca bagian remeh temeh ini, anda akan menyesal mengabaikan suara jeritan usus dan rektum atau kandung kemih anda. Sia-sia membuang-buang waktu demi membaca bab remeh temeh seperti ini. mengerti? (coba hitung berapa kali saya mengucapkan kata remeh temeh).

Saya sedang memikirkan orang yang sama, dengan orang yang 5 tahun lalu saya pikirkan. Seorang laki-laki, ya... Dia seorang laki-laki.
dia hidup dalam kabut dan mungkin akan kembali pada kabut.

Entahlah, saya tidak ingin menduga-duga.

*sigh

Saya memikirkannya, karena saya ingin membiarkannya pergi.

Siapa dia? telah 5 tahun membuat saya berdiri di sini menunggu.
Dia adalah orang yang membuat warna biru laut jadi membosankan, harumnya udara pagi menjadi hambar, dan rasa selai blueberry tidak lagi lezat.
dia selalu saja beku, diam, dan tidak percaya pada seorang pun, bahkan Tuhan.
tidak saya, tidak seorang pun yang mampu menyelami hatinya.

Tiap kali, tiap hari dalam 5 tahun saya mencoba berhenti memikirkannya.
Berhenti mereka-reka warna rambutnya, mata gelapnya yang tidak bercahaya, bibirnya yang bertindik, dan air wajahnya yang bagai danau, tenang tak beriak.
Juga kehidupannya yang tanpa cinta, penolakannya pada Tuhan dan kehidupan, kekejaman dan kesepiannya...
Saya mencoba membayangkan senyumnya, dan akhirnya, saya tetap memikirkannya.

Sudah 5 tahun. bukan waktu yang singkat untuk seseorang.

Karena itu... Kali ini saya ingin membiarkannya pergi bersama angin, melangkah mengikuti pudarnya pelangi bakda gerimis.
Saya lelah mereka-reka tentang dia, lelah memaksa dia tetap hidup dalam memori.
Saya ingin melangkah lagi, tanpa laki-laki tak bernama itu.

Saya ingin menghilangkan semua memori tentang dia, semua kisah hidupnya. Dan membiarkan kenangan tentangnya terbang menuju entah tak berujung.
Salahkah???

Bahkan dia tidak pernah hidup dalam dunia yang saya tinggali.
Tapi dia hidup dalam dunia yang saya kenal.
Dan saya telah lelah, memaksa dia untuk tetap hidup.
biarlah berlalu...
Kesalahan bukan padanya, tapi pada saya. Seorang penulis yang tidak mampu melanjutkan hidupnya, dan tidak mampu menyelesaikan kisahnya.

Lima tahun ini telah saya lalui untuk membayangkan dia hidup,
rugikah saya? Lagi2: entahlah...
saya tidak pernah menyesalinya.

Mengapa harus menyesal?
Toh dia tidak akan pernah benar-benar mati.
Dia akan mati suri, hingga seorang penulis yang lebih berani dari saya, membangkitkan kembali kenangan tentangnya

Tentang seorang lelaki tak bernama dan tak berhati
(Bahkan saya tidak mampu memberinya sebuah nama)

*untuk embrio pertama: terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku selama ini. Sekarang, tidurlah kembali...

Kita

Kita

Siapa kita?

Kita, adalah samudera yang mengarungi lapisan-lapisan kehendakNya
Kita adalah pelangi
Kita adalah bulan bundar langit berombak
Kita adalah cinta
Kita adalah ketulusan
Kita adalah kalimat-kalimat
Kita adalah warna beserta keindahan
Kita adalah gemericik air sembahyang waktu Subuh
Kita adalah tawa
Kita adalah hijau yang merentasi daratan
Kita adalah langit berhias gemintang
Kita adalah sanubari
Kita adalah kekuatan
....