Intermezzo SMA part II

Yang mau baca nomor 1nya, klik di SINI

Sebenarnya saya bukanlah pelajar yang jahat. Saya baik hati lagi tidak sombong dan suka menyiram bunga siang-siang.

Tapi saya benci sistem pendidikan Indonesia, atau setidaknya sistem pendidikan di sekolah tempat saya belajar dulu. Saya benci menghafal, menurut saya menghafal bukanlah hal terbaik yang bisa dilakukan. Orang harusnya memahami, bukan sekedar menghafal. Sedang guru hanya mengajarkan untuk menghafal, kecuali dalam pelajaran fisika, kimia, dan matematika. Saya juga benci mengakui kalau ujian terutama multiple choice dijadikan standar sebagai penguji intelektual siswa. Menurut saya itu sangat tidak masuk akal. Kita tidak boleh menjawab sekreatif mungkin, semua harus TEKSTUAL.

Dan yang terpenting, saya benci sistem pendidikan yang tidak mengajari murid-murid seperti saya untuk belajar dari lingkungannya. Kami tidak memahami untuk apa integral dalam kehidupan sehari-hari, untuk apa memahami reaksi kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan parahnya, kami diajarkan hanya agar bisa menjawab soal ujian.

Sewaktu saya kelas 2 SMA, saya menemukan sebuah buku. Saya lupa judulnya. Buku itu terinspirasi dari lagu Slank yang berjudul Pulau Biru. Buku kecil itu bercerita tentang sekelompok pemuda yang memutuskan untuk berlayar ke Pulau Biru dimana setiap orang berhak belajar dengan cara yang membuat dia "MEMAHAMI", bukan sekedar ingat.

Di buku itu, ada kisah Totto Chan dan Tomoe Gakuen, ada kisah seorang pemuda yang menghabiskan satu isi perpustakaan dalam waktu 1 tahun, yang belum ada hanya kisah Rancho dkk, ya mungkin karena filmnya belum ada waktu itu.

yang jelas, itu membuat saya semakin membenci sistem. Saya membenci catatan yang harus dibuat dengan menyalin buku pelajaran, tidak ada metode mind mapping atau pohon ingatan dalam mencatat di buku pelajaran. Guru yang bahkan tidak cukup memahami apa yang diajarkannya...

Saya memutuskan untuk tidur sesering mungkin dan menggendutkan badan tiap jam pelajaran dengan tidur.

Meski saya kadang berpikir, kapan ya saya harus insyaf?

Pernah guru di sekolah kami itu sidak,karena banyaknya murid-murid yang menghilang secara misterius di tengah pergantian jam pelajaran, makanya guru-guru sidak ke kamar2 asrama. Dan dimana saya saat itu?

Ngumpet di bawah kolong tempat tidur dong. Masa gak tahu. Heee... *saya tidak bangga lho.

Hingga pembagian rapor tengah semester,

saya rangking 2!!!


O___o

tidak mungkin sekali kan???

*bersambung lagiiii

Intermezzo SMA part I

Pada akhirnya, kita semua berubah.


Ya, kenapa kita harus berubah? Sebab hidup memastikan bahwa kita semua akan berubah. Mulai dari proses anak-anak, menjadi dewasa,lalu beruban. Al-Mu'minun sudah kutelusuri, dan kepastikan bahwa berubah itu pasti! Harus!

Maka seperti laiknya seekor ulat, aku bermetamorfosis menjadi kuda. Lho? Salah salah... Maaf. Maksudku menjadi gorila. Sudah benar kan?

Yang jelas,aku berubah. Waktu bayi, sering ngompol. Setelahnya, ngompol sekali-kali. Setelah 5 tahun, kadang-kadang. Setelah 70 tahun nanti, mungkin kadang-kadang juga.

Yang kuingat dari masa SMAku adalah masa-masa terburuk. Tanpa tujuan, tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
Tidak punya cita-cita. Mungkin hanya hidup untuk jadi pemanjat kelapa. Pasang muka sendu tiap mau ulangan, tidur di barisan paling belakang, dan kabur dari kelas tiap pergantian jam. Tragis! Tragis!

Siapa sangka anak bermuka sepolos aku bisa sejahat itu?
Kupikir hidupku tidak akan berubah hingga aku jadi pemulung kelak.

Hingga suatu hari, suatu waktu, saat kertas ulangan fisika dibagikan, nilaiku saat itu... Jreng jreng.... 100!!

Nah, bukan itu yang buat syok atawa kaget. Tapi kalimat guru setelahnya, "Kamu gak nyontek kan?" Tanyanya memastikan. Jreng jreng lagi!

"Nyontek? Enggak Bu!!" Guru itu manggut-manggut, entah percaya atau ngantuk mendengar alasan ngeles yang pastinya udah sering didengarnya itu.

Maka aku duduk, dan menyobek2 kertas ulangan itu, sebagai tanda protes atas pelanggaran hak asasiku sebagai anak jahat.
Semua temanku melongo.

Aku cuek, ngorok.

Bersambung...


Tidak Pernah Sendiri

Baru kali ini saya sadar,kalau kita tidak pernah benar-benar sendiri.

Sebab Tuhan memang tidak pernah tidur

Anehnya, saya sering melupakan momen tentang keberadaannya
Tapi hari itu,saat saya benar-benar hectic
Frustasi, nyaris.
Saat harus mengurusi detil-detil kecil yang saya benci.
Saya sadar bahwa kehadiranNya selalu ada.
Selalu, tiap saat.
Kalau tidak, bagaimana mungkin segala sesuatu bisa menjadi mudah?
Bagaimana mungkin perasaan saya lebih lapang setelah sebelumnya sesempit-sempitnya?

Dia tidak pernah melepaskan saya dari pandanganNya. Sebagaimana Dia tidak pernah melupakan engkau, sekalipun.
Maka bagaimana bisa saya tidak berterima kasih?
Untuk segalanya, tiap detik yang saya lewati.

Tolstoy mengatakan, "Tuhan tahu, tapi menunggu."
Keabadian berkata, "Ketiadaan waktu dan realitas takdir. Segalanya sudah terjadi."

Hingga saya berhenti berpikir, dan menerima saja semua kehendakNya.
Segalanya sudah terjadi.

*saat benar-benar memerlukanNya, tapi Allah memang tidak pernah tidur

Tanpa Tedensi Apapun

Sudah lama saya ingin menulis tanpa tedensi apapun. Tanpa harapan mendapat jempol like this besar-besar dari orang-orang, tanpa berharap ada yang terinspirasi, tanpa berharap ada yang merasakan manfaat.


Tapi itu musykil, disini. Ya, muskil.

Kenapa? Sebab saya selalu mendiktekan bahwa tulisan saya di dunia maya, bagaimanapun buruknya adalah salah satu wujud keinginan saya berbagi manfaat dan hikmah,

Hanya saat ini, saya memilih untuk menulis tanpa tedensi?
Mengapa?
Sebab seringkali sebagaimana jiwa-jiwa lemah lainnya, yang terjebak dalam kealpaan dan kelemahan justru di titik terkuatnya, sebagaimana seonggok jiwa merasai kehampaan saat banyaknya lautan hikmah didapatnya. sebab mungkin karena ia merasa CUKUP, maka ia menjadi SOMBONG.

Saya telah memilih jalan keshalihan, tapi lalu terjebak pada makna keshalihan itu sendiri. SEbagaimana saya telah memilih jalan kebijaksanaan, dan terperangkap pada definisi, dari kebijaksanaan itu sendiri.

"karena kita masih berusaha mencintai hidup, keshalihan, dan detik yang diberikan maka berusahalah bersyukur dan memilih jalan kesyukuran dan kesabaran bagaimanapun sulitnya"

Ini sebagian dari yang saya yakini, tapi sekarang saya mendapat kesulitan untuk memahami bahkan kata-kata saya sendiri.

Ah, ada titik-titik saya merasa HARUS BANGKIT!!!
Karena tidak ada alasan burung sehat untuk mematahkan sayapnya, sebagaimana laut ganas menghentikan deburnya hanya karena seekor kepiting kelabu melintas. HArmonisasi itu dipertahankan untuk menjaga keseimbangan yang telah digariskan.

Maka setelah sekian lama menyangkal, saya memutuskan bahwa saya bukan lautan yang menggelora. Saya tetap manusia biasa dengan warna-warni celupanNya, dengan binar sapuanNya.

Karena saya bukan tipe orang yang bisa mengatakan, "Hibur aku", maka saya ganti dengan "Doakan aku," Maukah teman?

Terakhir kali terpuruk seperti ini, saya membaca Nietszhe dan memutuskan bahwa Tuhan lenyap. Kali ini, saya memutuskan untuk mencari lautan dan mencoba berbicara pada Tuhan, dan di titik ini saya merasa konyol! Apakah Tuhan ada di lautan?

Seharusnya saya mencarinya dekat anak yatim, seperti Nabi. Dan bicara padaNya dalam kondisi ternetral saya. Untuk apa shalat saya jika seperti itu? Saya menyesali pencarian lautan saya hari itu.

Saya pernah menonton sebuah film, "V for Vinette" (mungkin ejaannya salah), salah satu kuotasi yang selalu terngiang-ngiang bagi saya adalah, "Tuhan ada dalam hujan"

Tidak, bukan seperti itu. Apa jika panas maka Tuhan tiada?

Seperti hal bodoh yang saya lakukan, jika saya mencari pantai untuk menemukan Tuhan, apa berarti Tuhan ada di pinggir laut? Maka saya dalam pencarian sore hari itu, setelah gagal menemukan pantai yang sepi, saya berdiam diri di dekat serimbunan hutan bakau. Sebuah tambak yang dihiasi gubuk-gubuk yang ditinggalkan. Tidak ada orang, hanya air, bakau, dan angin laut yang berkeriut-keriut entah dari mana. Saya berdiam di situ dan menyadari:

Langitnya begitu tinggi.

Hingga saya berhenti di situ dan sadar maghrib hendak menepuk pundak, maka saya menarik nafas dan sadar,

Pencarian saya bukan TUHAN, pencarian saya adalah DIRI SAYA SENDIRI.
Yang ingin saya dengar bukan SUARA TUHAN, tapi SUARA HATI saya sendiri.

Sesederhana itu saya mengerti.
Hanya 20 menit untuk mengerti.
20 menit diricuhi angin dan gejolak alam
20 menit tanpa manusia lain di sana
20 menit tanpa berpikir, hanya melihat
20 menit mendengar suara hati

dan setelah 20 menit itu, saya bisa menarik nafas.

pulang

dan kini, mencoba menulis tanpa tedensi apapun

bahkan setelah hampir 5 tahun menulis, saya membuang EYD.

Lepas, bebas

Pangeran dan Kuda

Berhubung malam ini saya merasa sedih sekali, maka saya akan menulis ini saja.


Suatu hari, di suatu waktu, di suatu tempat, di suatu masa.
hiduplah seorang pangeran yang tampan
Kenapa tampan?
Sebab wajahnya bersih. Tak ada jerawat, tak ada ketombe, tak ada bisul, apalagi komedo.
Dia begitu tenang dan suka kumur-kumur sebelum makan.
Lalu suatu hari, pangeran ini pergi mengendarai sepeda.
Eits, mengapa sepeda?
Sebab rupanya ia telah ikut program Anti GlobAL Warming, maka ia menolak naik BMW seperti biasa. Untuk naik kuda, ia takut kudanya akan buang kotoran dimana-mana dan mencemari sumber air bersih.
Maka berangkatlah si pangeran.
Hari itu dia mau ke mesjid. Untuk melaksanakan akad nikah dengan putri yang telah dipilihnya.
Kenapa putri? Sebab dia kan pangeran. Tidak mungkin menikah dengan Mpok Inem misalnya, itu kata orang-orang di sekelilingnya.
Sesampainya di mesjid, pangeran menaruh sepedanya dan segera masuk. Merapikan baju kokonya dan tersenyum dengan gagah seperti biasanya. Senyum gagah berarti rahang-rahangnya tertarik 90 derajat dan alisnya meliuk2 seperti ulat daun. Mata pangeran pun bersinar "Cling!"
Maka masuklah ia ke mesjid.
Disana, dekat altar. Lho? Kok di mesjid altar sih? Maaf, maaf... Rupanya tertukar dengan skrip Angel and Demon punya entah-siapa -itu. Dekat mimbar, putri cantiknya sudah menunggu.

Putri cantik itu tersenyum padanya, indah sekali.
"Assalamu'alaikum..." Sapa si pangeran. Baru pertama kali ia melihat wajah putri cantiknya itu. Biasanya kan mereka cuma chatting saja. Maklum , surat-suratan sambil kirim foto sudah tidak ngetren lagi.
"Wa'alaikum salam..."

Pangeran tidak berani menatap si putri, pandangannya mulai menunduk lagi.
"Kita menikahkan hari ini?"
tidak ada jawaban, si pangeran mengangkat muka.
Celaka, si putri menggeleng!!!!

Kenapa oh kenapa?
Rupa-rupanya...

RUPA-RUPANYA...




Penulis cerita ini kehabisan ide.
SEKIAN dan TERIMA KASIH

Pales dan Tuan Kelabu

Namanya Pales, tinggal di dekat Al-Aqsa.


Pales hanya seorang pemuda. Dengan rahang kukuh dan mata hitam. Pemuda seusianya biasanya masih menuntut ilmu, mengelola lapangan kerja, atau bahkan mengais rezeki mencari istri. Harusnya Pales juga seperti itu, tapi dia tidak menjalani hidup sesederhana itu. Entah kenapa. Mungkin karena lelah, mungkin juga karena perjuangan. Semua bermula saat Tuan Kelabu bertopi datar mengetuk pintu.

Pagi itu hening, suara ketukan pintu semakin tinggi hingga akhirnya pintu membuka. Dia Tuan Kelabu. Yang tampan, bermata dingin, dan memiliki senyum matahari di tengah musim salju.

Lalu sejak hari itu Tuan Kelabu, yang tidak lagi memiliki rumah dan terusir dari kampung halamannya karena kekejaman rasial, tinggal di rumah Pales. Dia menghuni kamar tamu. Kamar paling besar di rumah itu. Dia duduk di teras tiap pagi dan sore, menikmati seteguk kopi. Malamnya dia akan menyalakan lilin di kamarnya dan tidur setelah jauh malam, saat lilin telah habis.

Setelah 2 bulan Tuan Kelabu tinggal disana, ia meminta ijin menggunakan kamar Rafah, adik Pales. Alasannya kamar tamu telah terasa sempit dan tidak menyenangkan. Ia butuh kamar lain untuk menyimpan barang-barangnya. Ayah Pales, Yasser setuju. Dia menyuruh Rafah yang semula merengek untuk pindah ke kamar Pales. Untuk sesaat, suasana kembali damai.

Hingga Tuan Kelabu kembali meminta kamar Nablus, Jenin, dan terakhir kamar Ramallah. Dan ayah Pales selalu menyetujui. Hingga terakhir ia meminta kamar Pales, Pales menolaknya mentah-mentah. Hingga ayahnya meradang, dan menyuruh Pales menyingkir ke ruang tamu.

Pales bungkam, tak mengerti.Lelaki berhidung mancung dan beralis tebal itu telah menempati semua kamar di rumah ini!
Sorot mata ayah menjadikan Pales bungkam.
Mereka pun tidur bertumpuk di ruang tamu.
Hingga hari itu, Pales bangun dari tidurnya.
Dia melihat mimpi buruk.

Ayah berbaring dengan lidah menjulur, darah mengalir sepanjang alis hingga ke jenggotnya.
Ibu nyaris telanjang, tubuhnya teriris-iris hingga Pales hanya dapat melihat wajahnya yang berlumur warna merah.
Rafah, Ramallah, Jenin, dan Nablus sudah menghilang. Tapi Pales melihat potongan-potongan jari, kulit, dan rambut yang berserak. Lantai rumahnya menjadi merah berkilat.
Lalu Pales melihat Tuan Kelabu.
Ia menjerit nyaring dan melempar Tuan Kelabu dengan semua pajangan yang ada di meja. Lalu Pales lari.
Dia tidak ingat bagaimana ia bisa keluar dari rumahnya.

Pales lari ke rumah tetangganya. Mereka segera datang ke rumahnya. Berduyun-duyun dengan membawa segala macam senjata tajam. Saat mereka sampai, Tuan Kelabu sedang duduk di beranda rumah Pales, seperti biasa. Sambil menyeruput kopinya, dia menghadapi warga yang sedang marah. Saat dia membuka pintu, mempersilakan warga masuk, Pales terpana...
Ajaib! Ruang tamu telah bersih. Tidak ada darah, tidak ada potongan tubuh.
Pales membeku.
Hingga seseorang menepuk bahunya. Mengajaknya keluar.
Warga telah bernegosiasi dengan Tuan Kelabu, dan Pales diminta menyerahkan rumahnya dengan sukarela. Karena jika Pales tidak menyerahkan rumahnya, maka Tuan Kelabu akan merebut rumah-rumah yang lain.

Pales menatap orang-orang itu.
Tidakkah mereka mengerti bahwa Tuan Kelabu tidak akan pernah puas dengan satu rumah?
Ketika Pales meradang, ketua RT menengahi. Dia meminta Pales untuk berdamai dengan Tuan Kelabu, setidaknya agar Pales tetap bisa tinggal di rumahnya. Biarlah Tuan Kelabu mendapat semuanya, setidaknya engkau bisa tetap tinggal di rumahmu sendiri, meski hanya di halaman. Demikian Ketua RT membisiki Pales.

Pales meradang.
Maka ia lari, mencari keadilan.
Ditemuinya walikota, walikota tersentuh dengan omongannya, tapi lalu pergi setelah berbincang dengan Tuan Kelabu yang sering menyelip2kan sesuatu di kantong walikota.
Pales naik ke tingkat lebih tinggi, dia menemui gubernur. Tapi di depan pintu dia telah ditendang oleh ajudan.

Maka Pales nekat.
Dia berdiri di depan istana Presiden berhari2, hanya ditemani selembar karton besar. Hingga presiden yang malas dengan pemberitaan media akan ketidakacuhannya akan Pales mau menemuinya.
Hanya belum sempat Pales bicara, dilihatnya foto presiden bersama Tuan Kelabu. Berjabat tangan dengan mesra. Bahkan ada foto penyerahan cek dari Tuan Kelabu pada presiden.

Maka Pales diam.

Benar-benar diam. Dia tahu tidak ada keadilan lagi di muka bumi ini.
Hingga ia memutuskan mencari keadilan di langit.
Hanya karena hari pembalasan belum tiba, Pales memutuskan kembali ke rumahnya. Dia tidur dekat pagar. Dia menamai area pagar itu, Gaza.

SIapa Saya?

Akhir-akhir ini saya kehilangan orientasi. Fokus saya menipis, begitu saja. Dan saya tersadarkan bahwa saya masih manusia biasa sahaja. Akhirnya saya sampai juga pada titik titik yang selalu saya sadari, namun saya hindari. Titik dimana saya sadar saya bukan superwoman seperti yang saya sangka selama ini. Sosok yang bisa selalu optimis, kuat, tidak pernah lelah, menjadi pemimpin, tenang,menyelesaikan semua masalah, dan selalu memiliki motivasi. Saya gagal menjadi manusia luar biasa yang selalu saya impikan.


Karenanya setelah sekian lama, saya memutuskan untuk duduk saja sambil menyeruput segelas teh lemon, membiarkanketerbiasaan mengendap.

Saya masih punya agenda rapat mingguan.
Agenda rapat 2 mingguan.
Rapat yang saya koordinir sendiri.
Saya masih pnya sekretariat organisasi yang bisa saya kunjungi: FLP dan mushalla Asy-Syifaa'
Saya punya jadwal kerja mingguan
Saya punya meeting-meeting tertentu
Saya punya tugas yang harus diselesaikan
Dan jadwal bimbingan proposal skripsi
Serta kerjaan rumah selaku seorang anak

Saya merasa telah kuat. Saya bebas stress. Saya sanggup menyelesaikan 10 agenda yang berbeda dalam sehari. Semuanya mudah, saya bersyukur berkali-kali dan tetap berlari.

Hingga saya sadar.
Hanya satu sentilan kecil dan saya sadar.

Siapa saya?

Maka saya mulai mundur dan duduk di pojok kecil, merenung.

Berapa banyak SMS sapaan dari sahabat yang kerap tidak saya balas?
Berapa banyak sahabat di MP atau FB yang tidak saya sapa lagi?
Berapa kali saya mengingkari janji atau membatalkan janji sillaturrahim?
Berapa kali saya meminjam dan luput mengembalikan?
Kapan terakhir kali saya benar-benar duduk dan merenungi kelemahan saya?

Mendadak saya tersadarkan dari keluarbiasaan yang saya pikir telah saya miliki
Dari kesombongan yang tanpa sadar telah saya biakkan dalam hati
Dari ketinggian yang telah menjadikan saya lebih rendah

Saya sadar...
Bahwa saya masih manusia biasa
Astaghfirullah...
Saya masih hamba Allah...

Saya membiarkan pikiran tentang KELUARBIASAAN menjadikan saya lengah.
Hingga saya telah kehilangan begitu banyak hal
Mungkin saya telah meninggalkan kalian begitu jauh, karena saya mundur ke belakang ratusan langkah....
Saya meninggalkan kalian dengan hal-hal yang saya jadikan kecil. Padahal hal-hal besar yang saya kira tengah saya kerjakan telah menjadikan saya KERDIL.
Saya meninggalkan kalian dengan rasa ANGKUH yang saya miliki.

Maaf...

*setelah pikiran bertanya dan menggedor-gedor kembali "SIAPA SAYA???"

Adikku di dalam Amplop

Adikku berada di balik dinding-dinding kaca

Adikku perlahan mengintip dari balik dindingnya

Kaca luruh
Dia melangkahdan menatapku

Haruskah aku melipat adikku
Dan memasukkannya ke dalam amplop kertas?

Untuk kemudian kukirimkan ke antah berantah

Tanpa alamat tujuan

Jejak Yang Terbuat dari Aku

Bahkan saya ingin hidup setelah kematianku!!!


Kata siapa itu?
Kawan, tak usah bingung. Sila kau google saja. Kau akan mendapatkan banyak orang meng quote deretan kata ini, tentu dengan redaksi yang berbeda.

Apa semangat yang dapat kau tangkap dari kata-kata ini?
Hidupkah?
Atau kematian?

Saya pernah dikirimi SMS oleh seorang teman,
GODISNOWHERE


Coba baca!
Apa kau melihat:
GOD IS NO WHERE???

ATAU


GOD IS NOW HERE???


Kedua cara membaca itu bisa saja sama2 benar. Tergantung persepsimu. Demikian jg dengan cara engkau menanggapi quote di atas. Silakan tanggapi bahwa quote itu bicara tentang kehidupan, atau bicara tentang kematian.

Hanya saja, saya tidak ingin bicara tentang itu sahabat,
Karena inti dari quote itu sebenarnya adalah tentang meninggalkan JEJAK, sehingga nama tidak pudar, bahkan setelah kematian.

Dan bagaimana cara meninggalkan jejak?

Ah, banyak! Banyak sekali cara meninggalkan jejak. Sebagaimana Hitler meninggalkan jejak dengan goresan berdarah dalam sejarah, sebagaimana Cinderella meninggalkan sepatu kacanya, atau Jerry meninggalkan kejunya agar tidak dimangsa Tom, setiap orang punya cara terbaik untuk meninggalkan jejak.

Sekarang, saya tengah meninggalkan satu jejak di sini.

Apa jejak engkau, teman?