Seek for the Truth: No End

Sebenarnya, aku paling tidak suka menuliskan hal-hal yang pribadi di blog. kenapa? Yah, karena hal-hal pribadi tentang aku, tidak ada yang penting untuk orang ketahui.�
aku yang senang bertualang, tidak ingin didikte, mencari kebenaran dengan caraku sendiri... untuk apa orang lain tahu?�

tapi entahlah, yang jelas aku kali ini, ingin berbagi lagi tentang topik yang sama: kebenaran.

Sudah belasan kali aku menulis tentang kebenaran di blog ini:pencarian, orang-orang yang mencarinya, cara mencarinya, dll. tapi kali ini sedikit berbeda. aku ingin berbagi tentang pencarianku akan kebenaran itu sendiri. yah, cerita yang agak sensitif.

Oke, jadi aku adalah aku. waktu kecil aku adalah anak yang selalu duduk di depan TV, penasaran dengan dunia yang aku lihat. rasanya begitu banyak yang ingin kuketahui, begitu banyak yang belum kukenal. aku ingin bertanya, aku ingin tahu.�

sayangnya, orangtuaku sewaktu kecil bukan orangtua yang ramah. tidak punya cukup waktu dan serba sibuk. aku ingin bertanya, tapi mereka tidak punya waktu untuk mendengar. karena ada daftar panjang kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi: makanan, uang susu, listrik, bensin, dll. jadi aku bungkam dan hanya sekali-kali mendengar jawaban dari pertanyaanku. satu sisi positifnya adalah aku jadi terbiasa untuk tidak menerima, tapi mencari.

Besar sedikit, saat aku sudah dapat membaca, aku mulai melalap buku-buku yang tersedia di rumah. sebagian isinya tidak kumengerti; junal kedokteran yang rumit, koran yang mengerikan dengan ilustrasi berdarah,.. ayahku hanya sekali-kali membelikanku buku,meski aku meminta berkali-kali. sehingga aku terpaksa mengulang-ngulang satu buku bergambar yang sangat cepat habis dibaca hingga buku baru dibeli. saat aku mengorek-ngorek buku koleksi ibuku saat aku benar-benar haus akan bacaan: aku menemukan satu majalah: Annida (Annida adalah majalah islami yang sarat dengan nilai-nilai sastra. isinya kebanyakan cerpen dibanding dng konten lainnya). saat itu aku tidak mengerti apa itu. aku hanya ingin membaca, dan aku suka cerita. maka aku membaca.

Dan rupanya Annida itu sangat menarik! aku jd keranjingan membaca Annida itu, setiap datang yang baru, berebut aku dan kakakku membaca. meski Annida itu bukan majalah bersegmen anak, tapi ibuku membiarkan saja. karena toh, tidak mungkin ada konten berbahaya yang dikandung majalah bercorak islam. apalagi saat itu Annida belum seterbuka sekarang. benar-benar membumi, nilai islamnya kuat dan murni.�

Nah, dari situlah aku tahu beberapa nilai dasar; tentang jilbab, haramnya pacaran... hal-hal dasar yang dikemudian hari menjadi sangat bermanfaat. dulunya, aku tidak tahu pacaran itu haram, di TV toh kita setiap saat disuguhi adegan pacaran, cinta, dll. tapi dari Annida, aku tahu sehingga stigma yang telah terbentuk dari kecil itu melekat dengan kuat hingga dewasa. akibatnya jelas, aku dan kakakku tidak pernah sekalipun pacaran maupun tertarik untuk pacaran.�

Demikian juga masalah jilbab, dari Annidalah kami tahu dan tertarik akan jilbab. sehingga saat kami mulai baligh, kami langsung memakai jilbab permanen dan tidak dilepas lagi sekalipun, bahkan sekedar untuk keluar perkarangan rumah.dari Annida juga kami tahu jilbab yang benar itu seperti apa, dll. sehingga saat kami memakai jilbab, kami langsung memakai jilbab jadi, meski tidak panjang tapi lebar menutup dada. plus baju kurung yang longgar dan rok panjang tanpa belahan. semua terjadi alami tanpa perintah ortu. bahkan ibuku tertarik mempelajari Islam lebih jauh setelah kami disiplin berjilbab.

Pengalaman masa kecilku itu menjadi pelajaran, rupanya untuk membentuk anak memahami nilai-nilai Islam, bukan dengan memerintahnya saat dia baligh.tapi tanamkan kepadanya hal-hal yang islami dari kecil, maka saat dewasa, hal itu akan menancap padanya dalam. Dan aku terkadang heran, orangtuaku minim dengan pengetahuan agama, tapi kami, keempat anaknya mempelajari agama dengan serius, menutup aurat. adik2ku, tidak ada yg merokok. meski kami masih jauh dari nilai-nilai muslim yang ideal, tapi aku terheran-heran; bagaimana bisa jadi seperti ini dengan pengetahuan orangtua yang minim terhadap agama?�

saat aku bertanya, ibuku menjawab dengan mata berlinang, "Doa"

"Saat itu mama sadar tidak punya apapun untuk membesarkan kalian menjadi anak shalih. bahkan mama tidak begitu paham agama, tidak pintar ngaji, dan tidak memakai jilbab. tapi mama punya doa dalam tahajud tiap malam. agar Allah menjaga kalian, dan menjadikan kalian anak yang shalih. tak putus-putusnya mama berdoa tiap malam dalam tahajud. tiap ada tetangga yang haji, pengetahuan agama bagus tapi anaknya pakai baju ketat, pacaran...mama berdoa agar anak mama jauh dari semua itu."

Aku menatapnya dengan mata kaca. bagaimana kita bisa begitu bodoh mengabaikan kekuatan doa?

Aku hidup dengan keyakinan itu: doa. ya, hanya doa. karena usaha, ikhtiar lumpuh dan sia2 saat tdk dibarengi dengan doa.�

saat aku beranjak dewasa, aku menyadari realita dengan hal-hal fiktif yang kubaca di Annida dulu menjadi begitu berbeda.

Makhluk yang berlabel akhwat dan ikhwan bisa saja mengumpat, berpacaran, menjalin hubungan jauh dari koridor syar'i tanpa rasa takut pada Allah.

Berpolitik secara culas di belakang, lalu melabeli orang-orang yang tidak sepikiran.

Membentuk komunitas eksklusif berlabel: pejuang dakwah, tapi malah menjadi benalu yang menggerogoti dakwah itu sendiri.

Hingga aku muak dengan tempatku berada. Saat itu kawanku mengajakku bergabung dengan jamaah lain, Hizbut Tahrir atau sering disingkat HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

"Beda de," kata Putri, temanku itu." Lebih konsisten terhadap Islam dan dakwah, lebih terhijab, lebih punya sikap. terutama untuk menegakkan harga diri umat melalui khilafah."

Aku manggut, lalu mencoba menempuh jalan lain. tetap di jalan dakwah. hanya mengganti pakaianku dengan jubah panjang yang saat itu kuyakini jilbab yang sebenarnya. Saat itu aku baru masuk kampus, dan di kampus yang kuat dengan nilai-nilai dari jamaah tarbiyah, keterlibatanku dengan HTI dianggap dosa. Suara-suara sumbang mulai kedengaran di sekitarku. tapi aku cuek, aku sedang mencari kebenaran, tidak hendak melakukan sesuatu yang salah.

Hanya, aku masih gamang tentang jalanku. di satu sisi, pergerakanku di dakwah kampus belum mundur, tapi aku mengikuti HTI meski lambat. rasanya seperti meletakkak 2 kaki di 2 jalan yang berbeda. seperti nasihat seorang kakakku,"Semua menuju tujuan yang sama, hanya kendaraan yang dipakainya berbeda."�

aku setuju, dan aku sadar aku tidak bisa naik 2 kendaraan yang berbeda dalam satu waktu. maka aku harus memilih. dan saat itu sesuatu datang dan mengacaukan pikiranku,

"Jangan memecah belah umat." Nasehat itu menusuk ringan.

Dan apa yang kulakukan sekarang termasuk memecah belah umat? Aku berpikir dan berusaha mencerna. Saat itu aku melihat begitu banyak golongan dalam Islam., saling menuding, mencurigai, mengklaim mesjid sebagai milik jamaah mereka,...untuk apa? aku setuju jika yang dilibas adalah golongan yang benar-benar telah mengingkari Al-Qur'an dan Hadits seperti Ahmadiyah. tapi mengapa harus bertengkar jika karena beda penafsiran? Bahkan para sahabat saat masa Nabi punya perbedaan dalam membaca Al-Qur'an dan masalah-masalah ibadah.

Saat itu aku hanya ingin keluar dari semua. aku tidak ingin memecah belah agama ini.

Aku kacau, halaqah jadi terasa tawar, amalan sunnah berantakan, yang wajib setengah hati. aku disorientasi!

Hingga aku berdoa pada Allah, doa yang sederhana saja. aku hanya minta Ia menunjukkan jalan. jalan mana saja, asal mendekatkanku padaNya.

Dan Allah menjawab doaku. perlahan-lahan aku kembali ke jamaah yang dulu. kembali ke dakwah di dunia kampus yang penuh dinamika. aku tdk punya masalah dengan HTi, aku respek dan mendukung perjuangan mereka menegakkan khilafah.,hanya aku mendukung mereka dari tempat yang berbeda.

Hingga saat lain datang, aku berkenalan dengan teman-teman dari Salafi, golongan sekuler, bahkan yang liberal (yang dulunya aku sangat antipati). Aku mengerti sedikit-sedikit tentang cara pandang mereka. berusaha bersikap toleran tanpa meninggalkan prinsipku. juga dengan orang yang berbeda agama. Lakum dinukum waliyadiin...�

Dari semua perjalanan ini, mungkin tidak semua bisa kuceritakan. tapi jika ada yang bertanya kepadaku tentang alasan aku memilih jalan dakwah ini , aku ingin menjawab, bahwa aku memilihnya dengan pencarian. aku tidak dicekoki, dipengaruhi, diajak, atau apapun. tapi aku mencarinya, mempelajarinya dengan teliti, dan juga mempelajari hal-hal lain tentang golongan-golongan lain. aku memilih, tidak sekedar menunggu untuk dipilih.

Dan masalah kecewa, aku berkali-kali dikecewakan di jalan yang aku pilih ini. tapi karena aku mengerti, dan bukan sekedar masuk, aku tidak menjadikan kekecewaan sebagai alasan untuk pergi, tapi untuk berbuat.

Apa aku berhenti?

Hei, tidak! aku masih mencari. Dan pencarianku akan kebenaran, akan selalu ada. selama hati ini masih dapat direndahkan hingga serendah-rendahnya.�

Satu nasehat untuk pencari kebenaran: rendah hatilah. sebab kebenaran tidak akan berlabuh di hati yang tinggi. dan yang terpenting, jangan lupakan DOA. sebab doa, adalah bukti kerendahhatian seorang hamba

"Ya Allah...dekatkan aku dengan orang-orang yang mendekatkan aku padaMu, dan jauhkan aku dengan orang-orang yang menjauhkan aku padaMU."

Gambar dari: http://www.panhala.net/Archive/seek%20patience.jpg

1 comments:

Anonymous said...

udah aq comment ade hahahahahha

bagus :)