Tentang perang, hidup, cinta, dan perdamaian

Mungkin orang-orang yang membaca sebait tulisanku ini akan bertanya-tanya. Mengapa dalam judul yang kutulis ini terdapat kata-kata yang berlawanan dengan kata ‘life, peace, dan love’ yaitu ‘war’? karena 4 kata itulah hakikat hidup dan penyebab masalah dan romantika hidup manusia. Life adalah apa yang sedang kita jalani sekarang. Hutan rimba yang dipenuhi keganasan, bukan hutan dengan singa bijaksana, kancil cerdik, ataupun buaya yang bodoh. Semua dongeng tersebut sudah berakhir, jadi lupakanlah! Hutan belantara yang kita tinggali ini dipenuhi singa yang rakus, serigala yang culas, dan ular yang licik. Segala sesuatu yg membuat perasaan tidak nyaman, tapi jangan dipikirkan! Karena disinilah hutan kita, kerajaan kita! Peace adalah perdamaian, jika menurut bahasa kita, para orang awam. Apa itu perdamaian, jika menurut para ‘ahli’, perdamaian adalah saat yang tepat untuk menguras isi perut lawan. Bukan begitu? Mau bukti? Longoklah ke sekeliling kita! Ada pejanjian antara Palestina dan Israel yang disebut ‘pedamaian’. Dimana itu berarti kesempatan bukan? Untuk menggerogoti ‘daging’ Palestina, mengoyak jantungnya dan memakannya seperti perayaan sekelompok kanibal ketika menyantap buruannya. Okay, mungkin terlalu naif jika saya mengatakan hal ini, karena saya tak lebih dari seorang penonton. Penonton yang setia menunggu sinetron kesayangannya yang tayang tiap hari. Lucu sekali! Ketika kita menyadari bahwa mata hati kita telah musnah, kita hanya dapat tertawa dan memperolok-oloknya. Love, what does ‘love’ mean? Apakah cinta itu adalah kata yang yang selalu dan selalu didengungkan oleh ratusan putra-putri bangsa, dengan berjuta makna, sehingga mulut harus berbuih-buih mengucapkannya? Ataukah cinta itu sebenarnya tidak punya makna? Terlalu membingungkanh jika hanya saya sendiri yang berpusing-pusing memikirkan. Karena itu, mari! Mari kita mencari jawabannya bersama-sama tentang cinta. Mengenai definisi cinta itu sendiri, saya pernah mendengar syair menarik. “Aku ingin mencintaimu dengan sedehana Seperti kata yang tak pernah terucap Dari kayu pada api yang menjadikannya abu” Yang terakhir adalah ‘war’ atau perang. Perang itu sendiri adalah refleksi dari keangkuhan dan arogansi manusia. Sekaligus alat ampuh pemusnah peradaban, moral dan kemanusiaan. Saya tidak mengatakan bahwa perang itu adalah arena pelenyap nyawa manusia. Mengapa? Karena perang adalah menyangkut tujuan yang telah tersebut dan mungkin penguasaan adalah tujuan yang paling akhir. Mengapa? Karena arogansi lahir dari egoisme dan keirihatian manusia. Yang tidak senang pada kebahagiaan dan senyuman .Memusnahkan peradaban manusia tidak hanya melalui perang fisik saja. Namun perang pemikiran adalah jalan terampuh lainnya. Perusakan moral juga akibat negatif dari perang. Perang selalu menimbulkan luka dan efek traumatis yang berat. Perang hanya perusak kemanusiaan seseorang. Pencabik kebahagiaan anak-anak, mencabik senyum matahari mereka, pengoyak jalinan kasih. So, untuk apa ada perang? Manusia mengajukan beribu alasan untu berperang. Namun tak ada satupun alasan masuk akal dan logis yang dapat mereka ajukan. Karena untuk kekerasan dan arogansi, tak pernah ada penyelesaian, kecuali dari diri manusia itu sendiri. Jangan pernah (bagi anda yang membaca catatan kecil ini) menanyakan pada saya kapan 4 kata ini akan terasa membosankan dan hanya menjadi penghuni keranjang sampah? Jangan tanyakan pada saya. Karena sayapun takkan pernah tahu. Wallahu a’lam *Tulisan ini telah dimuat di rubrik opini harian aceh dengan judul "My Feeling about Life, Peace, Love, and War"

CAtatan Perjalanan Sang Atheis

Aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Mengapa? Pertanyaan basi menurutku. Bukan Tuhan pada agama Kristen, Hindu, Budha apalagi Islam. Aku memang tidak percaya pada Tuhan. Khayalan orang-orang bodoh menurutku. Aku tahu, naïf untuk mengatakan 90% orang didunia adalah bodoh dan pengkhayal. Tapi itu adalah pendapatku. Dan Indonesia adalah Negara demokratis yang menjunjung kebebasan beragama. Bukankah begitu? *** Perkenalkan, namaku Jean Mary Williams. Gadis blasteran Belanda-Indonesia modis berambut pirang, 21 tahun. Seorang jurnalis warta kota di Den Haag yang sedang mengalami penanjakan karir. Aku sedang mengunjungi Aceh, sebuah kampung tropis religius di ujung Sumatra, salah satu pulau di Indonesia untuk meliput aktivitas dan kebudayaan masyarakatnya. Kurasa tugas ini sedikit banyak berhubungan dengan gerakan dan isu terorisme di Aceh. Ini adalah tugas yang akhirnya berhasil kudapatkan melalui persaingan ketat dengan jurnalis lainnya. Tapi, akhirnya aku yang keluar sebagai pemenang. Bukan sesuatu yang sangat menyenangkan buatku, sebenarnya. Tak ada AC, jalanan yang dipenuhi kotoran sapi dan hewan ternak lainnya, gunungan sampah yang menguarkan aroma tidak sedap, orang-orang primitif yang terkagum-kagum dengan pendatang berambut pirang… Sungguh kampungan. Namun ini adalah petualangan hebat buatku yang selama ini hanya meliput di sekitar kota Den Haag. Berita-berita kecil yang ditempatkan sekilas di sudut. Namun laporan perjalananku ke Aceh ini akan dimuat secara eksklusif. Kesempatan dan peluang penanjakan karir yang benar-benar indah buatku. Hmm… untuk sukses memang seseorang tidak memerlukan ‘Tuhan’. Aku memejamkan mata. Perjalanan ke Banda Aceh siang tadi benar-benar melelahkan. Besok petualangan peliputanku akan dimulai. Kubuka agenda hitamku. Disana tersusun jadwal perjalanan yang telah disusun oleh guide-ku. Baiturrahman mosque… *** KAWASAN WAJIB BERBUSANA MUSLIM Uh, apa-apaan ini? Aku menggerutu kesal. Bagaimana aku bisa masuk? Menyesal aku tidak mengajak guide-ku tadi. Kurasa dia pasti mengerti bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Kulayangkan pandangan ke pelataran mesjid Baiturrahman. Hey, apa seperti itu busana muslim di Aceh? Cibirku kesal. Cewek-cewek bercelana jins ketat dengan jilbab yang diikat ke leher hingga menampakkan dada. Aku bukan seorang muslim memang. Tapi pengalaman peliputanku tentang kehidupan muslim Den Haag dua tahun silam telah memberiku sedikit pengetahuan. Para muslimah di Den Haag umumnya memakai jubah-jubah lebar dengan kerudung panjang. Dan bagiku seperti itulah standarisasi busana muslimah. Walau aku tidak mempercayai Tuhan, aku benci orang yang mempermainkan agama. Tapi disini? Ah…aku mengibaskan kepala. Saat ini tampaknya memang mustahil bagiku untuk memasuki Mesjid Baiturrahman. Tapi…kuangkat tustelku. Jepret…jepret..,belasan momen di sekitar Mesjid Baiturrahman berhasil kuabadikan. Yap! Tampaknya cukup untuk sementara. Sisanya akan kutanyakan pada Ayu Rizki, penerjemah sekaligus guide-ku. Memang aku cukup menguasai bahasa Indonesia dan cukup berani untuk bertualang sendiri. Tapi bertualang di kota kecil dengan kondisi keamanan yang kacau tanpa guide memang suatu pilihan yang buruk. Selanjutnya, Pasar Aceh menjadi pilihanku. Puluhan bahkan ratusan manusia berjubel, larut dalam kesibukan aktivitas jual beli. Kulempar selembar ribuan pada seorang pengemis tua yang berjongkok di pelataran toko. Pengemis itu tersenyum dan mengangguk senang. Kuangkat tustelku…jepret…dia tampak kaget. Aku tertawa kecil dan segera berlalu. Siang ini aku benar-benar sibuk mengabadikan berbagai momen. Sampah buah-buahan yang telah membusuk di sudut pasar, seorang bapak yang bertengkar dengan penjual mainan…it’s exciting! Adegan-adegan yang begitu biasa kuabadikan dengan luar biasa. *** Allahu akbar Allahu akbar! Aku tersentak! Kulirik Seiko yang setia melingkari pergelangan tanganku. 12.45. Waktu Dhuhur bagi umat Islam. Aku mendapat gagasan. Kurasa ini kesempatan untuk mengabadikan momen peribadatan masyarakat Aceh. Kuraih ranselku dan bergegas memanggil taksi. Sebuah mesjid di wilayah Lamteumen mejadi pilihanku. Kurasa untuk mendapatkan gambar-gambar hebat aku tidak harus memotret di mesjid Baiturrahman. Sesampaiku di Lamteumen aku berhasil menemukan mesjidnya dengan sedikit bertanya-tanya pada penduduk sekitar. Tapi apa yang kulihat? Shaf mesjid hanya terisi separuhnya. Aneh! Padahal berita yang kudengar Aceh adalah daerah paling religius di Indonesia. Meski dengan rasa penasaran kutekan juga tobol tustelku. Jepret! Hari ini, segulung rol film telah kuhabiskan. Rencana besok…Pantai Ulelee. *** Hari ini aku bangun lebih awal. Ayu Rizki telah menyiapkan mobil sewa seperti permintaanku kemarin. Bepergian ke pantai dengan taksi bukanlah pilihan yang terbaik buatku. Karena selain ke Pantai Ulelee hari ini jadwalku telah dipenuhi beragam rencana-rencana untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Banda Aceh. Besok atau paling lambat lusa aku sudah harus sudah meninggalkan Banda Aceh untuk mengunjungi daerah-daerah lain. Pagi di Ulelee benar-benar menyegarkan. Meski sampah-sampah yang berserakan disegenap penjuru pantai menimbulkan kesan jorok dan kumuh, namun aku tidak begitu mempedulikannya. Yap! Sebagai seorang jurnalis aku harus professional. Jepretan kameraku kembali mengabadikan aktifitas bocah-bocah cilik yang tengah bermain air dengan gembira. Kuhembuskan nafas sekuat-kuatnya, melepaskan rasa lelah yang kurasakan beberapa hari ini. Pengunjung pun mulai semakin banyak berdatangan. Sebagian menatapku dengan penuh minat. Aku melempar senyum sekilas. Sebagai basa-basi belaka. Bagaimanapun aku orang asing disini. Setelah menghabiskan lebih dari dua belas frame aku merasa lebih santai. Aku menepi dan duduk di atas pasir. Tak kuhiraukan bulir-bulir pasir mengotori jeans levi’s kesayanganku. Percakapanku dengan Ayu Rizki semalam meninggalkan kesan yang kuat dalam benakku. Tentang krisis kebudayaan dan moral yang menimpa masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh yang semula menganut paham religius yang kuat kini telah kehilangan identitas dan berkiblat pada budaya Barat yang begitu ‘menarik’ buat mereka. Bukan ini berita yang kucari sebenarnya. Namun meski aku seorang atheis yang sekuler, aku menghargai setiap agama dan para pemeluknya. Dan fakta ini membuatku agak kecewa. Tiba-tiba guncangan yang agak kuat mengembalikan kesadaranku. Aku tersentak dan segera bangkit. Kulihat para pengunjung keluar dari air dengan panik. Mereka menepi dan bergerak ke pinggir pantai. Aku mengikuti mereka. Belum pernah kurasakan gempa seperti ini. Firasat buruk menyergapku tiba-tiba. Guncangan terasa sangat kuat. Aku memejamkan mata dan menunggu. Orang-orang di sekelilingku melafalkan kalimat-kalimat yang tak kumengerti. Perasaan mual dan pusing mulai menyergapku, dan tiba-tiba, semua berhenti. Serentak semua orang di sekelilingku menghembuskan nafas lega, dan ribut mengomentari peristiwa barusan. Aku bergerak ke pinggir pantai untuk mengambil kameraku yang tertinggal ketika aku terburu-terburu lari tadi. Nah…itu dia. Aku menghembuskan nafas lega dan mengangkatnya. Kuarahkan kameraku ke arah laut. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang salah. Air laut menyurut… ikan-ikan besar dan terumbu karang menampakkan diri. Apa ini? Kepanikanku bertambah melihat masyarakat berlari ke arah laut dan sibuk memilih ikan. Hentikan! Ingin aku berteriak. Namun bibirku terkunci, kakiku seolah beku. Kepanikan dan ketakutan mencengkram jantungku. Lari Mary! Seolah dikomando oleh seseorang aku bergerak menjauh dari bibir pantai. Bayangan hitam disertai dengan gemuruh dahsyat menutupi bayanganku. Tanpa menoleh aku berlari sekuat tenaga. Teriakan panik dan ketakutan bergaung di telingaku. Lari! Jangan menoleh! Lari! Aku menjerit dalam hati. Puluhan orang berlari ketakutan. Jeritan ketakutan hanya terdengar sepersekian detik sebelum gelombang itu menghantam kami. Aku terdorong oleh kekuatan raksasa. Tidak! Aku menjerit dalam hati. Aku tidak mau mati! Air ini begitu pekat, aku tidak bisa bernafas. Berbagai benda-benda asing mencabik tubuhku. Paru-paruku sesak. Aku…kesadaranku terbang. *** Aku terbatuk-batuk. Mataku sangat berat. Apakah…aku masih hidup? Kubuka mataku perlahan. Penglihatanku kabur. Kupaksakan untuk bangkit. Sekujur tubuhku sakit dan perih. Potongan kayu yang cukup besar menembus daging lenganku. Kupaksakan diri untuk mencabutnya. “AAAHH!!!!” aku menjerit. Potonan kayu itu terlepas. Darah mengalir deras. Kugertakkan gigi menahan sakit. Lumpur telah mengering di sekujur tubuhku. Bau anyir darah. Di sekelilingku ratusan…Tidak! Ribuan mayat bergelimpangan. Kugigit bibirku. Bulir-bulir air mata mengalir tak terbendung. Mengapa…? “Tuhan…” mungkinkah Dia yang telah menyelamatkan sebentuk nyawaku yang hina ini? Setelah sekian lama, aku merasa membutuhkan pertolongan ‘sesuatu’ di atas sana. Aku tak tahu dengan pasti. Apa, atau siapa. Namun sekarang aku percaya, 90% orang di dunia telah mengambil langkah yang tepat. Dan mereka bukanlah orang-orang bodoh yang naif. Justru akulah yang begitu bodoh dan naïf. Logikaku tak memberi jawaban atas keajaiban ini. Tustelku, karir, dan semua yang begitu kubanggakan selama ini… telah kehilangan arti. Suara adzan bergema. Allahu akbar Allahu akbar!. Entah dari mana… Tak kulihat satu bangunan pun disini. Aku larut dalam tangis. *Cerpen ini merupakan karya yang meraih juara kedua pada lomba penulisan cerpen se-NAD yang diadakan oleh serambi dan japan aceh net

JIka aku datang,maka Lihatlah aku,Tuhan

Aku tidak bisa hidup jika tidak punya Tuhan. Aku tidak bisa hidup tanpa Tuhanku. Hampa, sepi… aku hanya ingin bersama Tuhan. Hanya ingin melihat wajah Tuhanku yang indah. Jika aku tidak bertemu dengan Tuhanku di kehidupan nanti, lebih baik aku tidak usah tercipta. Lebih baik aku menjelma batu dan tumbujhan saja. Hidupku adalah untuk menemui Tuhan. Aku bertanya-tanya, dimana Tuhanku berada? Mengapa aku tidak dapat menemukanNya? Aku mencarinya di sela-sela keramaian pagi, kegaduhan malam, sunyi bar dan bioskop, dan kekacauan di mesjid, gereja, dan klenteng-klenteng. Aku terus mencari Tuhanku. Kapan? Kapan aku bisa menemuiNya? Rindu… begitu rindu. Aku rindu Tuhan. Begitu ingin bertemu. Merasakan kehangatan pelukanNya. Betapa ingin menggenggam tanganNya yang suci dan mulia. Dan merasakan semua keindahan di bumi yang begitu tidak berarti dibanding cahaya Nya. Aku memang tidak pantas untuk Tuhanku. Ia begitu suci, sedang aku begitu hina dan kotorr. Aku takut aku tidak pantas untuk menemuiNya. Bahkan aku tidak pantas untuk mengintip cahayaNya dengan penglihatan hinaku. Aku tidak ingin Tuhan berpaling saat melihatku. Aku tidak ingin Ia membenciku. Aku ingin Ia mencintaiku. Ia melihatku diantara kerumunan hamba-hambanya. Ia melihatku saja. Hanya aku saja. Tapi ini mimpi. Impian yang begitu hina. Jasadku bahkan tidak akan disentuh oleh anjing kurapan saking hina dinanya. Lantas, bagaimana Tuhan akan melihatku kelak? Aku hanya berangan-angan. Yang kelak akan Ia lihat hanyalah para nabi dan rasul, ulama-ulama, dan para orang-orang salih. Ia akan memanggil mereka dengan penuh cinta kasih, dan meninggalkan aku, hambaNya yang hina bersama deretan pendurhaka lainnya. Aku tidak ingin surga. Yang aku inginkan hanya kepastian bahwa Ia tidak akan memalingkan wajahNya yang indah dariku. Yang aku inginkan hanya kebahagiaanNya melihat pengabdianku. Yang aku inginkan hanya melihatNya tertawa saat aku mengorbankan hidupku dengan menjual darahku di jalan perjuangan. Hanya itu yang aku inginkan. Aku tidak takut neraka. Karena neraka bagiku adalah saat Ia melemparkan semua amalku ke mukaku di hadapan manusia dengan segenap kemurkaan. Neraka bagiku adalah saat Ia menolak bicara dan menatapku di Yaumil Masyar nanti. Itulah nerakaku. Ampunkanlah aku… Tuhan, aku bukan Rabiah Sang Sufi yang begitu mencintaiMu. Aku juga bukan Umar Al-Faruq yang begitu takut padaMu Aku bahkan bukan Namrudz yang tergerak sesaat hatinya oleh hidayah, lalu ia menolaknya karena kesombongan. Tuhan, satu-satunya harapan untukku melihat segenap keindahanMu kelak hanyalah kasih sayangMu semata. Betapa aku egois Duhai Tuhan… Aku meminta kepadamu semua keegoisanku Namun aku tidak pernah benar-benar memikirkanMu Aku ingin bahagia sendiri Tuhan Meski aku tahu aku tidak akan bisa Tuhan, Kau telah meminjamkan kekuasaanMu padaku Meski aku tidak pernah mengerti Tuhan… Aku bicara padaMu Kau selalu mendengarnya Tapi lagi-lagi aku tidak mengerti Tuhan… Jangan biarkan aku seperti Musa di Thursina Yang memintaMu menunjukkan diriMu Karena aku bukan Musa Aku tidak pernah sempurna sebagai seorang hamba Tuhan… Aku mencariMu selama ini… Dia antara selipan daun dan tetesan hujan Birunya langit dan gelapnya mendung Tapi aku malah tidak mengerti bahwa Kau lebih dekat dari urat leher. Tuhan… Maukah Kau bicara padaku? Meski hanya dalam hati Lalu berilah aku cahaya Untuk mendengar suaraMu Tuhan… Aku memperlakukanMu seolah-olah aku punya Tuhan selain Engkau Padahal Engkau adalah Tuhan Yang Esa Namun Kau tetap memperlakukan aku seolah tiada hamba selain aku Tuhan… Jangan biarkan aku mencariMu lagi Aku telah menemukanMu Jika aku mencariMu lagi Aku takut kembali kehilanganMu Bolehkah aku berbicara denganMu Tuhan? Bolehkah aku beristirahat dalam pelukanMu? Aku tidak punya tempat bersandar yang nyaman, Tuhan Lalu aku sadar, Bahwa hanya PadaMu aku dapat menemukan kehangatan Dan hanya dalam genggamanMu aku dapat beristirahat Tuhan… Jika waktuku tiba Maukah kau menerimaku? Meski aku tidak pantas… Ijinkanlah aku… Duhai Tuhan…

Menangislah...

Dalam hidup, kesedihan adalah sesuatu yang biasa. Begitu biasanya, hingga tak ada orang yang ak pernah merasakan kesedihan. Namun yang terpenting bukanlah apakah kita pernah merasakan kesedihan atau tidak, melainkan bagaimana cara kita menghadapi kesedihan itu. Ada orang yang menghadapinya dengan hanya duduk menangis sepanjang hari. Sebagian lainnya memilih memalingkan muka dan menganggap hal yang menyebabkan kesedihan itu hanya khayalan. Yang lain jadi memendam kesedihannya dan menjadi gila kegiatan. Ada juga yang menjadi gila sungguhan. Semua orang punya caranya masing-masing dalam bersedih dan menyembuhkan kesedihan. Kesedihan adalah hal lumrah. Namun jika dibiarkan berlarut-larut, kesedihan akan memacu timbulnya stress dan depresi. Stress adalah pemicu berbgai penyakit berat, diantaranya kanker dan gangguan jantung. Sedang deperesi yang tak lain adalah saudara stress, adalah factor yang dicurigai sebagai pemicu kelainan jiwa yang parah, seperti Obsessive Compulsive, Skizofrenia, hingga kepribadian ganda. Kesedihan memang tak selamanya buruk. Karena perasaan sedih yang wajar justru membuat hati manusia lebih lembut dan peka. Kesedihan juga merupakan suatu fitrah dalam diri manusia, ketika hal yang terjadi tak seindah yang dibayangkan. Kesedihan merupakan suatu ekspresi dari jiwa manusia atas segala kelemahan, ketidakpercayaan, kekecewaan… Seorang bijak pernah mengatakan bahwa “Lebih baik bersedih dan menangis daripada tidak pernah bersedih sama sekali”. Bahkan sebagian orang memuji bahwa lelaki yang menangis lebih berani daripada lelaki yang memendam kesedihannya kuat-kuat. Mengapa? Sebab laki-laki yang menangis menunjukkan bahwa ia bukanlah orang yang pengecut dalam mengungkapkan gejolak emosinya. Jadi anggapan bahwa lelaki dilarang menangis jelas adalah paradigma yang salah. Paradigma diskriminatif yang telah usang dari jamannya. Tidak ada yang salah dengan air mata. Maka menangislah. Siapapun engkau. Saat kau rindu Saat sedih terasa tak bernama Saat hujan menitik sendu Saat raga tak berdaya.

Nabi Yang berlumuran darah (cerpen)

Pada malam kematian istriku, sekali dalam hidupku aku mencoba melihat Tuhan. Mencoba bicara padaNya, dan merasakan keberadaanNya. “Tuhan.” Bisikku saat itu. “Dimanakah kau berada?” Lalu aku seolah merasakan bisikanNya, lalu sunyi kembali menjelma. Inilah titik balik dalam hidupku. Kutanggalkan topeng, sarung tangan berlumuran darah, lalu pisau, pistol, dan etah senjata apa lagi. Kutinggalkan semua. Aku merasa ingin kembali pada Tuhan,menghapus jejak berdarah yang telah membekas puluhan mil dibelakangku. Aku ingin hidup dalam kedamaian bersamaNya. Kuikuti kembali jejak keluarga besarku yang kini telah damai di surga. Mengikuti ajaran Kristen Advent, kembali ke salib, sanctuary, dan pembaptisan. Aku seolah telahir kembali. Suci bagai bayi yang baru dilahirkan. Namun Tuhan belum membiarkanku tenang. Takdirku masih dibiarkanNya berjalan ke titik semula. Ke titik yang sama. “Bekerjalah pada kami.” Wajah putih simpatik itu berkata padaku. Senyumnya culas. “Aku bukan pembunuh.” Ujarku dalam. “Setidaknya sekarang aku bukan pembunuh lagi.” “Kenapa?” Aku menunduk, “Tuhan telah memanggilku kembali.” Wajah tersenyum itu tidak berubah,”Kalau begitu bekerjalah pada Tuhan.” “Dengan membunuh?” “Ya.” Mata lelaki itu menatap tepat ke pupilku.”Membunuh musuh Tuhan. Seperti Nabi yang membunuh iblis.” Kutatap wajah dingin itu. Senyumnya seolah seringai, tapi kata-katanya seolah benar. Ya, Nabi memang membunuh iblis. Para kekasih Tuhan juga membunuh, hanya saja mereka membunuh untuk mengabdi pada Tuhan. Maka kuterima uluran tangan lelaki itu. Dan pistol, pisau, dan entah apa lagi—para teman lamaku—dikembalikan kepadaku. *** Hidupku kembali bergulir dalam irama yang sama. Hanya saja seolah semua menjelma menjadi kebenaran. Menjadi ibadah seorang hamba yang taat pada Tuhan. Semua yang mati di tanganku kini adalah iblis; para koruptor, pembunuh berantai, pemerkosa, Bandar narkoba… ya, mereka semua iblis yang tak tersentuh hukum. Jadi membunuh mereka bagiku pekerjaan mudah, karena aku tahu bahwa Tuhan bersamaku. Hingga saat itu datang, ketika aku merasa Tuhan berpaling dariku. Kulihat tubuh bersimbah darah di hadapanku. Wajahnya suci, janggutnya tebal dan keningnya berwarna kehitaman. Wajah bekunya tidak menampakkan rasa sakit sedikitpun karena terjangan peluruku. Ia hanya… tersenyum. “Apa kesalahannya?” aku bertanya pada lelaki berwajah beku itu. Ia kembali menyerigai. “Meneror masyarakat. Teroris….” Bukan, bisik hatiku. Kali ini aku tak melihat kebenaran dalam kata-katanya. Ia berbohong, aku tahu itu. Wajah teroris bukanlah wajah malaikat. Sosok itu memiliki wajah dan sayap malaikat. Bahkan sekilas, wajahnya seperti Yesus Kristus. Aku pasti telah melakukan kesalahan. Aku telah membunuh malaikat! Aku menatap wajah di depanku yang kini seolah telah menjelma menjadi wajah iblis. Lalu dalam satu gerakan, ia terbanting ke tanah. Aku seolah melihat wajah Tuhan menjelma kembali di dekatku saat wajah iblis lelaki culas itu melotot dengan urat meregang penuh. Hanya sesaat, lalu wajah Tuhan kembali memudar, dan aku tahu bahwa aku harus pergi jauh untuk menemukannya kembali. *** Wajah baru, identitas baru, dan nama baru tidak berarti takdir baru. Takdirku masih berputar dalam lingkaran setan yang sama. Hanya saja kali ini gelarnya terhormat: eksekutor. Teman-temankupun berganti. Bukan lagi pisau dan pistol. Melainkan kursi listrik atau kadang-kadang jarum suntik berisi cairan beracun yang tidak begitu kumengerti. Namun aku lega, karena tugas ini adalah mulia. Aku benar-benar membunuh iblis sekarang, bukan hanya untuk Tuhan, tapi juga untuk Negara. Waktu berlari, tapi Tuhan belum kembali. Setiap aku menarik tuas kursi listrik itu, aku berharap melihatNya sebelum wajah kesakitan itu membeku. Tapi Ia tetap tidak hadir, yang kusaksikan hanya malaikat maut yang melesat datang dan pergi. Dimana Engkau, Tuhan? Aku memutuskan untuk bersabar. Kucoba kembali mencariNya di tempat-tempat suci. Kutinggalkan kursi listrik dan suntikan untuk sementara. Aku berkelana dari satu gereja ke gereja lain, dari satu kapel ke kapel lain. Kulakukan perjalanan spiritual menjelajahi tempat-tempat suci. Aku hadir dalam tiap misa, kebaktian, pengakuan dosa, dan entah upacara seremonial apa lagi. Aku berharap melihatNya di belakang pastur yang tengah berkotbah, ataupun dalam nyanyian-nyanyian agung yang menggetarkan kubah gereja dan salib di atasnya. Tapi Ia tak kunjung jua kutemukan. Hingga aku lelah. Maka aku meninggalkan ajaran warisan keluargaku. Kucari jejak lain; vihara, pura, klub malam, hingga gereja Setan. Terus berjalan. Kadang berlari, kadang merangkak. Menuju Tuhan. Tapi Tuhan tetap enggan berpaling padaku. Hingga gaung kebebasan mulai berbunyi. Mata dunia terpana saat menara kembar runtuh. Di sanalah aku bergerak berbalik. Kembali ke titik awal. Berbicara pada Tuhan. Ia yang murah hati, memberiku warna pemahaman baru. Tak ada salib, tak ada kapel, tak ada misa. Asyhadu alla ilaaha illallah… *** Kupikir pengembaraanku untuk mencariNya telah usai. Hari-hariku kuisi dengan ibadah kepadaNya. Aku seolah dapat melihatNya setiap butir tasbihku berderak. Ataupun saat sajadahku basah, berlumuran air mata dan sedikit ingus. Aku berharap Ia rela padaku. Aku berharap wajahNya tersenyum padaku. Aku berharap dosaku diampuni. Aku hidup hanya untukNya sekarang. Kemudian dia datang. “Ini tugas mulia.” Bisiknya. “Aku telah menemukan Tuhan.” Balasku.”Aku tak mau kehilanganNya lagi.” “Tapi Ia memerlukanmu, memanggilmu…” Aku tercenung, wajah putih bersih di depanku tampak serius. Aku tahu ia tidak berbohong. “Aku telah berhenti.” Kutegaskan kalimatku. “Jika begitu, siapakah lagi yang dapat dipanggil Tuhan untuk membela agamaNya di muka bumi?” Aku terdiam. Lagi-lagi kulihat kebenaran. Kali ini aku kembali mengangguk. Tak ada lagi tanya. Tuhan telah memanggilku, maka aku harus bergegas. *** Saat aku resah, aku memanggil nama Tuhan. Kusebutkan nama-namaNya yang agung, dan terdiam saat damai meresap dalam tiap bagian diriku. Kali ini aku akan kembali ke titik takdirku. Namun tidak seperti sebelumnya, kali ini aku kembali bersama Tuhan. Jadi aku tidak takut, sedikitpun tidak takut. Kuraih kameraku. Ini adalah tugasku. Tugas yang diberikan redaksi majalah tempat aku bekerja sekarang. Namun ini bukan tugas dari Tuhan. Tugas dari Tuhan kali ini adalah tugas terakhirku. Setelah selesai, aku akan kembali bersamaNya. Mengisi malam dengan sujud dan siang dalam pengabdian. Berharap melihat wajahNya tersenyum saat aku menyelesaikan tugas ini setelah berbulan-bulan menunggu. Kugesekkan kedua kakiku. Merasakan logam dingin di balik kaus kakiku, yang hampir saja ditemukan dariku saat pemeriksaan, jika saja ayahku tidak mewariskan wajah Yahudi dan kepintarannya padaku. Sebentar lagi… Saat pintu limousine itu membuka, kusaksikan wajah ramah dengan uban memenuhi kepalanya. Tersenyum dan melambai pada kerumunan. Alis tebalnya, hidung mancungnya… sekilas mirip wajahku. Ia jagal manusia. Atau jagal muslim. Darahnya halal. Tuhan memberitahuku. Lusinan laki-laki berbaju hitam melingkar mengelilinginya. Tapi tak masalah bagiku. Aku tahu apa yang harus dilakukan. Dan betapa sempit waktu yang kumiliki. Kurasakan dingin besi di tanganku. Hanya dalam satu kokangan senjata, aku mendengar orang-orang menjerit. Lalu tubuh berlumuran darah segar terjatuh, sepersekian detik setelah bunyi tembakan. Matikah ia? Jika ya, mengapa malaikat maut tidak tampak untuk merenggut topeng iblisnya? Kurasakan merah menyembur semakin deras. Hangat hingga wajahku. Pistolku terlempar jauh. Ada tangan dengan kuku-kuku panjang—tangan iblis—memungutnya. “Terrorist!” kudengar seseorang berteriak di kejauhan. Aku melayang dalam de javu di tengah sakit yang kurasakan. Seperti laki-laki malaikat yang terkapar dengan senyum itu. Bahkan aku kini juga teroris, sama sepertinya. Bisakah aku mati sepertinya? Sedangkan Tuhan telah memilihku, tapi aku gagal. Dalam pandanganku yang mulai buram, kusaksikan wajah-wajah iblis bertanduk menodongkan senjatanya ke arahku. Mereka menyerigai. Kucari wajah Tuhan, berharap melihatNya. Agar lenyap segala takut, lenyap segala ragu. Marahkah Ia kepadaku? Tuhan di atasku. Ia tersenyum. “Allah…” Terima kasih telah memilihku.

I LOVE YOU,mama

Ketika aku mengingatmu, aku menangis… Membayangkan saat saat perjuanganmu Mengenang saat saat aku menyakitimu Membayangkan sakitnya dirimu saat mengandung dan melahirkanku Mama Jika aku kehilangnganmu Bearti aku telah kehilangan separuh hidupku Dan saat itu,semua warna warna cerah dalam hidupku memudar Aku tinggal sosok buta tanpa cahaya dan –penyangga Mama Aku ingin membahagiakan mama Meski aku tahu Apapun yang aku lakukan takkan mampu mengobati luka luka dibathin mama yang telah kutorehkan Mama aku hanya ingin mama tahu Meski aku jahat,malas belajar dan suka nyusahin mama kucinta mama Karena mama adalah malaikat yang Allah utus untuk menjagaku Mama daku ingin mama selalu bahagia Di dunia dan di akhirat Rahmat Allah selalu atas mama

cinTakah kamu?

Mencintai Allah berarti hidup sendiri Jauh dari kefanaan Jauh dari kesempitan Jauh dari diri sendiri Merindui Allah berarti memilih kebahagiaan Tak ada hati yang bosan Tak ada raut mendung Tak ada kebingungan memilih jalan Yang ada hanya senyum terbit pelangi Keheningan dalam tiap riuh yang melanda Perasaan hening dan bening yang padu Memilih hidup dengan bergantung pada Allah berarti lepas dari pandangna manusia Lepas dari kemunafikan Lepas dari kepengecutan Memilih Allah berarti memilih untuk berbeda Beda yang terbaik

Menulislah,Maka KAU akan Bahagia

“Aku sepertinya lahir dengan pena di tanganku.” Itulah yang dikatakan dengan lugas oleh penulis Harold Pinter. Sayangnya sebagian besar dari komunitas penulis tidak seperti itu, dan aku termasuk di antaranya. Saat semua dimulai, aku hanyalah siswi ‘biasa’. Baru di dunia SMA, tidak dapat beradaptasi, dan canggung dalam bergaul dengan para remaja yang terlalu bersemangat. Tak ada sahabat tempat bersandar. Benar-benar ‘biasa’. Tapi hidup berubah, itu tidak pernah aku sadari. Hingga saat aku membuka mata untuk pertama kalinya di pagi itu, secara tiba-tiba, lebih dari 100 milyar neuron di otakku berteriak. Mereka berteriak secara berbarengan, hingga susah untuk dimengerti. Aku mencoba mendiamkan mereka dengan bahasa yang ‘biasa’: marah-marah dan menangis. Namun mereka tetap tak mau diam. Terus berteriak siang dan malam. Meneriakkan berbagai hal-hal aneh, protes terhadap hal-hal yang tak dapat diterima jiwaku, dan berceloteh tiada henti. Semua terus terjadi hingga aku merasa nyaris histeris. Maka aku mencoba menulis. Mereka (para neuron-neuron itu) mengalir keluar bersama tinta pulpenku. Jeritan mereka dalam kepalaku berangsur-angsur melemah. Lalu aku melihat mereka lagi, dalam guratan huruf di kertas. Aku berhasil menyingkirkan mereka! Aku tetap menulis. Mengganti pikiran-pikiran yang ingin kuganti, memprotes hal-hal yang tidak dapat kuprotes dengan bahasa lisan, menyimpan kenangan-kenangan berharga dari masa lalu, dan melihat potret diriku yang terus berkembang tiap harinya dalam kertas di hadapanku. Aku merasakan sosokku mulai berganti sesuai irama gerakan pena. Dari sosok remaja suram, menjadi ilmuwan pemenang Nobel, seorang perawat yang terancam oleh pembunuh, mahasiswa gondrong yang kelelahan… semua sesuai dengan imajinasiku yang terbang dalam aksara-aksara yang kulukis. Kutempelkan tanda cinta, persahabatan, dan persaudaraan dalam tiap tetes tinta. Kubagi perasaan takjub, keterasingan, dan kesedihan pada dunia di luar diriku. Lalu melihat wajah-wajah berbinar dan senyum terkembang terbit dari deretan huruf-huruf yang berjajar bagai pengungsi mengantri sembako. Gerakan penaku semakin liar. Kubiarkan pikiranku mengembara. Kuberlari saat badai menerpa, kubersembunyi saat gelombang kehidupan menghadang, dan kutemukan jalan keluar saat labirin kebingungan menutupi jalanku. Semua dapat kulakukan hanya dengan menemukan pulpen dan kertas. Inilah jalanku menuju dunia luas. Akhirnya aku menemukannya… Apakah aku akan berhenti menulis? Ini berkali-kali terlintas di pikiranku. Dan para neuron yang telah terdidik memberiku jawaban praktis: Berhenti menulis berarti membiarkan neuron-neuron itu kembali berkuasa dalam diriku dan membuatku gila. Berhenti menulis juga berarti aku memutuskan kembali menjadi orang ‘biasa’ yang berjalan tiap pagi di jalan tanpa punya cinta, harapan, dan keyakinan untuk dibagi. Berhenti menulis juga berarti keluar dari dunia yang indah, dipenuhi satwa unik, dan petualangan seru tiap hari untuk kembali ke dunia yang penuh dengan orang-orang berdasi dan menjijing tas kerja. Berhenti menulis berarti berhenti hidup. Sayangnya, aku juga tahu bahwa hari dimana aku berhenti menulis pasti akan datang juga. Inilah hari ketika neuron terakhir di otakku telah dihancurkan, degup jantungku berhenti, dan paru-paruku kempis tanpa udara, lalu jari-jari dan semua organ di tubuhku berlahan membeku. Saat itu aku akan benar-benar berhenti menulis. Aku terus bergerak: Menulis! Memang lautan tidak pernah tenang selamanya dan sungai tidak pernah mengalir dengan kecepatan konstan tiap waktu. Jadi aku tahu dan mengerti bahwa saat-saat suram dalam hidupku akan datang juga. Yaitu saat-saat ketika aku merasa huruf-huruf itu menjijikkan, saat-saat pulpenku kehabisan tinta, dan saat-saat imajinasiku yang kerontang menghambat gerakku dalam menulis. Namun itu bukanlah alasan bagiku untuk berhenti menulis. Karena aku percaya selalu ada kesempatan untuk mendapat semangat, petualangan, dan pulpen baru. Aku masih disini. Menulis dalam tiap lembar kertas, ketukan keyboard computer, tombol handphone, hingga sekedar tulisan khayal dalam imajinasi. Tiap detik, menit, jam, terus-menerus sepanjang tahun. Diantara neuron-neuron yang telah kupindahkan itu ada yang hanya dapat mengintip lesu dari tumpukan kertas di kamarku. Robek, lusuh, dan menjadi bagian dari onggokan sampah. Namun mungkin juga akan ada sebagian yang dapat mengembangkan hidupnya. Tumbuh dan berlipat ganda dalam lembaran-lembaran di percetakan. Menjadi bagin dari Koran dan buku, dalam berbagai wujud: cerpen, novel, essay… Apapun itu, aku ingin selalu menulis…