Love will set you free...

Love will set you free...

Benarkah?

Lalu apa yang dapat dikatakan, saat cinta mengukung dengan sedekimian hebatnya, hingga terasa menyakiti?

Ketika cinta berpaling,maka siapakah yang paling merasa sakit?

Tentunya yang mencintai, dan bukannya yang dicintai.

Maka dimanakah: Love will set you free?

Tidak ada perasaan merdeka yang benar-benar dalam suatu cinta. Selalu ada rasa cemburu, resah, kebosanan,dan curiga.

Love will set you free?

Free?

Mungkin, hanya ada satu cinta yang akan selalu membebaskan. Dan itulah cinta yang benar2 hakiki.  Cinta pada Illahi Rabbi. Yang akan membebaskan. Dan selalu indah, bahkan sebelum waktunya benar-benar indah.

Love will set you free...

Believe?

Insya Allah...

Kapan Kakiku Menginjak Surga???

Lelah...

Tapi kapan waktunya

bagi seorang muslim

untuk beristirahat?

Imam Ahmad bin Hanbal dengan tenang menjawabnya

"Ketika kakinya menginjak surga."

Hmm...begitulah hidup. Boleh curhat sedikit? Tidak bolehpun,aku tetap curhat. Kan di blog pribadi nih.

Rasanya, hidup semakin sesak. Amanah bertumpuk, berjejalan nyaris keluar dari sistem persarafan. Luber ke jantung.

Di CIMSA, ada amanah untuk jadi Sub Unit Penyuluhan Malaria ke sekolah2. Acaranya memang masih lama, tapi persiapannya udah dimulai dari sekarang.

Di FLP, ada seabrek tanggung jawab: mading, buletin DZero yang belum diprint sampai sekarang, padahal harusnya terbit bulan November

Di Lembaga Dakwah kampus, Asy-Syifaa', ada amanah untuk menjadi penanggung jawab mading. yang sedang macet karena anggotanya pada sibuk.

Di kepanitaan ini itu, ada segudang pekerjaan yang menunggu. 

Tanggal 13 bulan ini, ujian blok Jantung dan Pembuluh darah.

Ini capek fisik dan otak. Secara ruhiyah:

Kemarin baru 'nyaris' bertengkar dengan seorang teman baik karena persoalan yang sebenarnya tak perlu dipertengkarkan (beda pendapat, boleh kan?)

Hafalan Qur'an udah berhenti entah dimana.

Amalan2 udah terbang ke langit, yang di bumi entah apa.

Dsb, dll, dst...

Pada akhirnya

Hasbiyallahu wa ni'mal maula wa ni'mal wakiil...

Cukuplah Allah sebagai pelindung

Sentuhlah Dia Tepat di Hatinya

Seorang dosenku pernah berkata,"Bukan hi-tech masalah kita. Tapi Hi-Touch."

Touch. Sentuhan.

Ya,semakin lama,saat jaman bergeser ke arah kemajuan,

semakin canggih teknologi kita,

maka ada yang semakin hilang.

Perhatian yang semakin berkurang...

Dan sentuhan pada manusia...

Dosen ini bercerita tentang suatu kasus di rumah sakit. Saat ini teknologi dalam bidang pengobatan tengah berkembang dengan pesatnya, dan banyak peralatan medis yang dapat dioperasikan otomatis. Dengan satu tombol, data tentang tekanan darah pasien, denyut nadi,suhu tubuh dan sebagainya dapat terukur. Cepat dan akurat. Dokter tidak lagi harus menjelajahi satu lengan pasien untuk mencari denyut nadi. Tidak perlu lagi meraba dahi pasien untuk merasakan suhu tubuh. Semua dapat dilakukan dengan satu tombol.

ya, hanya dengan satu tombol.

Tapi apa yang terjadi?

Suatu hari alat pengukur tekanan darah di rumah sakit itu rusak, dan dokter ini tidak diberitahu. Dia datang pagi-pagi dan langsung dihadapkan dengan pasien. Sedikit menekan tombol, dia telah mendapatkan data tekanan darah, denyut nadi,dll dari si pasien. Semua terlihat normal. 

Hanya beberapa waktu berselang, pasien tersebut meninggal dunia. Dan sang dokter baru diberitahu bahwa alat tersebut rusak setelahnya.

See?

Dalam dunia kesehatan, masalah tekanan darah adalah suatu masalah yang memilki urgensi sangat tinggi. Tekanan darah yang tidak terkendali, merupakan suatu gejala gangguan sistem kardiovaskular (jantung-pembuluh darah). bicara tentang jantung dan pembuluh darah, maka itu adalah pekerjaan kedaruratan dimana nyawa manusia dipertaruhkan. Ketepatan yang dibutuhkan menyangkut menit. Dalam 4 menit jantung berhenti, kematian sel-sel otak (biologis) terjadi, pasien lewat. Dalam 4 menit atau maksimal 6 menit, sebuah keluarga dapat kehilangan orang-orang yang dia cintai.

Mungkin sedikit sentuhan bisa menyelesaikan segalanya. Tanpa bermaksud berandai-andai, jika si dokter ini sempat sedikit saja meraba pergelangan tangan pasien ini, dia akan tahu bahwa denyut nadinya abnormal. Tindakan kedaruratan dapat segera dilakukan dan pasien ini akan dapat melewati krisis. Tapi ia tidak melakukannya. Dan ini salah.

Dan berapa banyak sentuhan dalam hidup yang dapat menyelamatkan nyawa seseorang?

Bahkan yang bukan dokter pun dapat melakukannya.

Dalam insidensi kasus bunuh diri di kota-kota besar, sebagian orang yang melakukannya adalah orang-orang yang kesepian. Bagaimana seseorang dapat merasa sepi?

Saat hidupnya sepi dari sentuhan, bahkan sentuhan verbal.

Saya ingat sebuah kisah di Chicken Soup for Teen Soul,

Seorang siswi SMU yang tengah mengalami depresi hebat memutuskan untuk bunuh diri. Di malam tahun baru, di saat kedua orang tuanya keluar rumah untuk menghadiri sebuah acara, dia memutuskan bunuh diri dengan cara terjun dari jembatan.

Nah, dia keluar rumah dengan hati hancur. Sebelum mati, ia ingin meninggalkan surat untuk orang tuanya. Maka ia membuka kotak surat.

Di dalamnya ada beberapa surat, dan salah satu surat itu ditujukan untuknya.

Jantungnya berdentang-dentang seperti bunyi bel raksasa. Seumur hidup dia tidak punya teman, dan tidak ada yang bicara dengan tulus padanya, apalagi menulis surat.

Isi suratnya sederhana: tawaran untuk berteman.

Dan dia masuk ke rumahnya. Hari itu, ia memutuskan untuk tetap hidup.

See again?

Ada sentuhan verbal di sana. Sentuhan yang membawa "kehidupan" bagi manusia lain. Dan yang bukan dokter pun dapat melakukannya.

Siapa saja dapat melakukannya.

Jadi, sentuhlah orang-orang yang ada di dekatmu. Karena satu sentuhan dapat membwakan makna yang begitu besar dalam hidup.

Bukan Sekedar Mencari Jodoh

Bukan salah saya, jika saya selalu saja bertemu dengan orang-orang yang mencari jodohnya di dunia maya. Seperti seseorang teman di YM yang terpaksa saya offline kan untuk selamanya. 

sebenarnya bukan karena dia asyik bicara tentang nikah aja sih, tapi karena dalam pembicaraan kami yang terasa sangat mendzalimi (soalnya saya hanya boleh dengar, gak boleh ikutan komentar ataupun mengganti topik) dan berdurasi nyaris 2 jam itu, dia memaksa saya menerima semua ide2nya.

Saya: Tapi kan.. (pertama)

Teman: kamu kok gitu sih? (kayak lagu.hehe) masa kamu mikir gitu

Saya: bukan gitu, tapi...(masih sabar)

Teman: eh,pikiran kamu kok sempit banget.

Saya:(mulai naik pitam)saya kan berhak ngasih pendapat juga (udah di perbatasan kesabaran)

Teman: emang susah kalau cewek pikiran sempit

AAargh... Astaghfirullah... Kesaaaal! kesal banget. Trus ngobrolnya gak boleh diganti topik. harus soal nikah terus. Sampai saya tanya,

Saya: kamu kok suka banget ngobrol soal nikah?

Teman: kan sunnah rasul

Saya: tapi kan gak harus mikirin itu terus 24 jam?

Teman: tapi itu kan urgen banget

Saya: iya, tapi ada hal2 penting lain yang bisa diomongin kan

Teman: emang kamu mau bilang masalah nikah ini gak penting?

Gubrak dot com deh. Plis...masalah nikah emang penting. Urgen juga. Umat ini perlu regenerasi, penerus estafet dakwah yang berkelanjutan. Tapi,menjadikan nikah sebagai satu2nya topik yang pantas dan harus dibicarakan, sehingga mengesampingkan hal2 lain yang tak kalah pentingnya (seperti perasaan lawan bicara yang emosinya udah naik ke ubun2), apa tidak menunjukkan kemandekan pikiran?

Hufff...Capek banget

trus pas saya iseng tanya

Saya: emang gimana cara cari jodoh yang tepat

Teman: ya seperti ini. Ngobrol, trus kenalan (kebalik ya?) setelah itu difollow up

Jadi...dari tadi dia mau ngobrol sama saya untuk evaluasi calon istri?

TIDAAAAK!

Langsung saya permisi, dan say goodbye forever.

Ya Allah....itu momen paling mengherankan dan ngeselin dalam hidup saya.

Yang menjadi bahan pemikiran setelah itu, berapa banyak orang seperti Teman saya yang baik itu? Mungkin dia bukanlah orang pertama. Mungkin dia juga tidak sendiri. Ada banyak orang yang ikhtiar mencari jodoh dari depan komputer mereka. Salahkah itu? Entahlah. Mungkin karena keyakinan saya tentang asal usul jodoh masih sangat idealis sekali, jadi saya merasa tidak berhak menghakimi Teman saya itu,dan orang2 yang seperti dia. Meski agak gerah juga. Karena tujuan saya menjelajahi dunia maya lebih ke petualangan mencari ilmu, hikmah, dan ukhuwah yang berserakan, kehadiran orang2 seperti Teman saya yang baik itu menjadi batu kerikil yang harus diwaspadai (maaf ya kalau agak kasar).

Dan dimanapun ada adab dalam melakukan segala sesuatu.

Karena di dunia maya seperti ini pun, hukum Allah tetap berlaku kan? Meski di YM kita dapat ngobrol secara privat dengan siapapun, dengan gaya bahasa separah apapun, dan pikiran bahwa tdak ada yang melihat, hukum Allah masih tetap berlaku. Dia melihat setiap kata yang kita ketikkan di layar, tiap foto atau gambar yang kita privatekan di FS, dan semuanya...

JAdi, jangan merasa Aman dari perhitunganNya!

Wallahua'lam

Astaghfirullah..

Bahagia tanpa Menikah

Cantik, sebuah pujian yang terdengar indah di telinga makhluk bernama perempuan.

"Kamu cantik sekali hari ini..."

Dan hati seorang perempuan pun melambung.

Lantas, apakah seorang perempuan hanya dapat dikatakan cantik.

Bagaimana dengan pintar, shalihah, sopan?

"Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi2, nanti susah jodoh."

Aah...apakah hidup seorang perempuan hanya untuk mencari jodoh!

"De, kalo aku jadi cewek pinter pasti banyak yang suka ya!" (katanya bercanda)

Duuh...emang jadi pinter itu hanya untuk dapat cowok keren?

Perempuan, wanita, cewek, akhwat, apapun sebutannya, tidakkah mereka adalah makhluk mulia yang telah Allah ciptakan?

ada keindahannya yang menjadi ujian. Tapi apakah seorang perempuan itu hanya berharga dari penampilannya? Tidakkah ia juga berhak untuk mengembangkan kemampuan dan pemikirannya?

"Gak takut jadi perawan tua?" Itu pertanyaan yang sering terlontar ke seorang perempuan. Tapi jarang kan ada pertanyaan serupa ditujukan ke kaum laki2?

Allah...

tanpa bermaksud memojokkan satu jenis yang manapun dari ciptaan Allah, kadang kala hati ini perih saat melihat perempuan2 shalihah dengan segenap kelebihan yang Allah berikan pada mereka,belum juga mendapat jodoh hingga senja, masih harus menanggung label 'perawan tua' yang dilekatkan oleh masyarakat.

Tidakkah mereka berhak bahagia dengan kesendirian mereka? TAnpa diganggu dan dihakimi dengan label "tidak laku"

Sebab hidup seorang perempuan tidaklah sekedar untuk menikah. Sebagaimana laki2, ia tetap punya kewajiban untuk mengaktualisasikan kemampuannya demi kemashalatan umat, menikah maupun tidak.

Hidup seorang perempuan bukan sekedar untuk menikah. Sebab pernikahan hanyalah sebuah proses, bukan tujuan akhir.

Dan siapapun dia, perempuan maupun laki-laki, menikah tidak menikah, berhak bahagia..

Cercalah agar Aku kuat

Kenapa harus selalu peduli dengan apa yang orang lain katakan tentang dirimu?

***

Aku bukanlah orang yang kuat. Dan aku sadar benar akan kelemahanku ini.

Karena aku selalu terlindungi oleh cangkang halus yang melingkupiku.

Dari orang tua, kakakku satu2nya, dan orang-orang lain di sekitarku.

Saat aku terancam oleh sesuatu, pelindungku ini akan bergerak. Seolah tak ada satupun di dunia ini yang bisa menyakitiku. Meski sebenarnya bisa jika Allah berkehendak.

Mungkin karena terlalu dilindungi, maka aku menjadi orang yang lemah. Aku tidak siap dengan serangan dalam bentuk apapun. Sehingga dalam kehidupan aku lebih banyak diam. Cari aman.

Hal ini juga yang membuatku memilih dunia kepenulisan. Dalam benakku, menjadi penulis memisahkan aku dari banyak orang hingga aku akan selalu aman. Aman dari cacian,serangan, dan hal-hal yang menakutkan hati.

Tapi apa yang dapat kukatakan saat kenyataan menjadi berbeda?

suatu tulisanku yang dimuat di harian lokal, menjadi sasaran caci maki dari banyak pihak. lengkapnya bisa dilihat di sini.

Rata-rata orang yang membaca tulisan itu menghujatku. Mengataiku sebagai orang picik, manusia dangkal, orang yang ngasal cuap-cuap, dsb. Benar2 mengagetkan. Tanganku langsung panas dingin, dan sejak itu...

aku memilih diam.

Diam itu nyaman,sangat nyaman malah. 

Tapi aku tidak bisa diam untuk selamanya. Tidak. Terutama saat aku mendengar kata2 Hellen Keller di telingaku, "I'm one. and i'm still one. I can do something, but i can't do everything. So i won't refuse something that i can do."

Dan seseorang menyebutku orang yang picik saat aku mulai bicara lagi.

Biarlah, setelah kupikirkan. Banyak orang yang mengalami hal yang sama. Saat kubuka situs Seno Gumira Adjidarma, kulihat banyak orang yang mencercanya dengan sangat kasar juga.

Lalu kurenungkan.

Ah manusia! Tak ada habisnya untuk dimengerti.

Sebagaimana kisah ayah-anak yang membawa keledai, aku tidak harus memanggul keledaiku untuk memenuhi keinginan orang-orang kan? biar saja mereka dengan opininya!

Terlalu mencintai, sehingga bersalah?

Telalu mencintai, hingga jadi bersalah? 

Ehmm...banyak kisah cinta di sekitar kita. Sebagian besar beraroma sufistik, penghambaan pada Illahi Rabbi. Yang jika diamati terlihat bercahaya, dan jika didekati memberikan wangian kasturi, wangian surga.

Ada juga kisah cinta yang indifferent, acuh tak acuh. Tapi cinta itu ada. Bersemi indah, tapi dalam rasa malu yang sangat. Dan ketakutan yang amat akan kehilangan cinta. Maka cinta itu hanya menjadi suatu kisah yang singkat.

Ada cinta yang menyakiti, cintanya manusia pengidap sadisme, cintanya orang masochist*, cinta yang obsesif, cinta yang posesif...semua bentuk dari cinta itu tidaklah selalu berbentuk jantung, seperti yang banyak disebutkan manusia dari jaman baheula, "I love you with all my heart." yang latah diartikan oleh orang Indonesia dengan "Aku mencintaimu sepenuh hatiku." Padahal heart ini jantung, bukan hati. TAPi biarlah kesalahan berbahasa ini tak udah terlalu saya ungkit

dan satu kisah yang memilukan datang dari memori masa lampau.

***

"De, aku mau mati aja."

aku terdiam,"Becanda ya Ndin?" *Note: bukan nama asli.

"Enggak ade, kemarin aku baru menelan obat penenang, 15 butir."

Kutatap matanya. Ada mata gadis yang menderita dalam cinta. Ada seseorang yang terlalu mencintai, hingga ia bahkan tega menyakiti dirinya, karena cinta yang tersia-sia."

"Alhamdulillah Allah masih memberiku kehidupan. Tapi..." Sinar wajahnya meredup,"Aku gak bisa melupakannya."

Dialog panjang kami masih berlangsung. SEmua khas hati yang patah. Ada tangis, kesenduan, kebimbangan, kehilangan arah.

"Ade, aku kapok pacaran. Ini untuk yang terakhir kalinya, titik!"

aku menatap matanya dalam-dalam. sambil menyimpan sebaris doa dalam hatiku untuknya.

Lalu, apa yang harus kukatakan saat perjumpaan terakhir kami yang entah, justru memberiku kabar tentang ia dan pacar barunya?

"Yang terakhir. Aku akan nikah sama dia." katanya mantap. Lagi-lagi aku menyimpan satu do'a.

Pernikahan itu tidak pernah terjadi.

Hingga saat ini, sudah lama aku tidak mendengar kabarnya. Aku bahkan tidak tahu, di bumi manakah ia sudah berada. Entah kenapa, tiba-tiba aku mengingatnya. Dan lagi-lagi, aku masih menyimpan doa untuknya. Tidak hanya satu, tapi beberapa.

Cinta apakah yang dimilikinya?

Entahlah, aku hanya berharap, ia tidak akan pernah kehilangan cinta sejati yang semestinya bisa dimilikinya. Hingga saat itu tiba, biarlah aku tetap menuliskan tentang cinta itu dan menyimpan banyak doa untuk Andin, dan sejuta sahabat2 ku, dimanapun mereka berada.

Agar cinta, tetap menyentuh mereka dalam kebahagiaan yang hakiki.

Endless...

Selamanya...

Catatan singkat dari Hati

Aku adalah ***singkat

Bukan siapa-siapa

Layaknya sebuah irama

Satu...

Dua...

Tiga...

Hingga aku mendengar

Tuhan mengetahuiku dari malaikatNya

Sebab aku tidak sepenting itu di mataNya

Tapi aku ingin mengenalNya, tanpa perantaraan malaikatNya

Sebab aku ingin Dia

Sangat menginginkanNya

Meski tanganku tinggal sepotong

Aku akan tetap menginginkanNya...

*Diary Sunyi dari seorang hamba yang tidak pernah mengenal dirinya...

Kebahagiaan yang sebenarnya sederhana

Kebahagiaan?

Berkali-kali orang bicara tentang bahagia.

Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tahu. Sebab bahagia bukanlah puisi. Bahagia bukan menyangkut jumlah uang, barang, bahkan relasi.

Kebahagiaan adalah menyangkut hal2 sederhana, tapi menopang hidup manusia.

Bahkan hal-hal kecil semisal senyuman, bau bunga kemuning di tepi jalan, suara hujan di luar jendela, bahkan sekedar belaian lembut angin di wajah selepas masalah sehari2 melanda, dapat menjadi bahagia.

Bahagia, semua orang ingin bahagia.

Bahagia bukanlah sekedar senyuman. Tapi juga tangis, kecewa, gagal, bahkan putus asa.

Semua dapat menjadi bahagia dengan barakah.

Ya, barakah.

Maka sambutlah barakah dan berbahagialah!

Dan barakah bukan sekedar milik pengantin baru, seperti doa yang sering disebutkan

Barakallah 'alaikum...

Sombongnya Manusia2 Medis-part2

Fragmen 2:

DI ruang tunggu sebuah UGD, seorang anak laki2 yang tampak sesak memegang dadanya, nafasnya terlihat tersenggal2. Ibunya yang hanya memakai daster berdiri di sebelahnya, tampak agak panik.

Saat itulah, seorang dokter spesialis lewat dengan langkah tergesa. Dalam kepanikannya, ibu tadi langsung mencegat langkah sang dokter.

"Dokter, tolong anak saya."
Dokter separuh baya itu terlihat kesal. Dalam hitungan detik ia langsung mendamprat ibu tadi dengan kata2 kasar. Intinya agar bersabar untuk menunggu karena pasien sedang banyak2nya. Dan ia tidak pantas mengganggu seorang dokter yang sedang sibuk.

Ibu tadi hanya dapat terpaku. Kepanikan bercampur kesedihan karena dampratan terbayang jelas di wajahnya. Sedang si anak di sudut masih terus tersegal2.

Fragmen 3:

Di sebuah rumah sakit yang baru saja di bangun di kota X, seorang dokter spesialis saraf baru saja selesai memeriksa pasiennya. Istri pasien itu berdiri di samping suaminya, mencoba sabar menunggu hingga sang dokter selesai dan hendak keluar.

"Maaf dok, suami saya sakit apa?"
Dokter itu hanya melirik sekilas pada sang istri yang berpakaian sederhana itu. Lalu berucap sampai terus melangkah,

"Saya jelasin juga ibu gak akan ngerti!" Lalu ia menutup pintu ruangan kelas 2 itu dengan agak keras, meninggalkan sang istri tanpa kata permisi.

Sombongnya Manusia2 Medis

Alhamdulillah...
setelah sekian lama vakum dari nge blog, akhirnya hari ini aku bisa kembali

Kembali berbagi, semuanya...
Dan untuk hari ini, ada sebuah cerita tentang manusia
dengan sebuah profesi
yang membuatnya seolah-olah dapat menguasai nyawa manusia:

Dokter
dan para petugas medis di sekitarnya

Fragmen 1:

"Langsung aja naik ke tempat tidur!"
Kami tercekat melihatnya. Bapak itu, pasien yang baru saja diperintah oleh si petugas juga kelihatan bingung. Ia hanya menatap mesin yang berbentuk seperti tempat tidur itu dengan tak yakin.

"Gimana naiknya?" ia bertanya lemah, tapi sang petugas tidak memperdulikannya. ia sibuk dengan sejumlah catatan. Kami, para mahasiswa FK yang diberi tugas untuk mengunjungi bagian radiologi hanya dapat tertegun.

"Kenapa? naik pak." sahut petugas itu dengan tajam. Kali ini bapak itu naik dengan taku2, mungkin juga bingung. dengan tak sabar, petugas itu mengarahkan posisi bapak yang sakit itu.

Lagi2, kami hanya terdiam

...Bersambung^^

Thanks For Sharing (TFS)

Pernah merasa sedih?
Berbagilah...

Merasa kecewa?
Berbagilah...

Merasa Gundah?
berbagilah

Merasa senang?
Berbagilah...

Alhamdulillah...hampir setahun sudah aku nge MP, telah banyak luka, kesedihan, kegembiraan, dan senyum yang kubagi.
Ada juga gundah, sepi, bimbang, dan aneka nano-nano lainnya.
Berbagi, begitu indah.
Kadang ketika beban di pundak terasa begitu berat, berbagi membuatnya ringan
Ketika tawa telah begitu lepas hingga rahang terasa sakit, berbagi membuatnya seimbang.
Aku sangat bersyukur telah dapat membagi semua emosi dan bertemu dengan begitu banyak saudara-saudara di dunia maya ini.
Sebagian besar mungkin tidak akan pernah kutemui, kecuali Allah berkehendak lain.
Ada yang telah kutemui karena takdir, juga karena dijebak (oleh takdir dan oleh kawan2)

Hampir setahun, terhitung sejak 25 November 2007 aku mengenal Multiply
Dan aku bersyukur kepada Allah, karena telah dapat mengenal begitu banyak orang, menjelang usiaku yang sebentar lagi 19 tahun

Bersyukur, berterima kasih kepada saudara2ku yang telah banyak membagi dirinya denganku.
Terutama kepada:

* Ririn (dikau yang telah mengajariku MP, syukran ya rin. Juga karena semua yang telah dikau bagi. Bahkan keusilanmu)
* Mbak Nisa Mulya (8onetwo): syukran mbak, artikel2 dari mbak banyak banget manfaat untuk diriku dan bnyak orang
* Bang Yudi Randa (meski telah banyak dizhalimi, cut bang udah banyak berjasa dalam mnymbangkan banyak pemikiran2 n koment2. jadi untuk itu, masuk dalam tiga besar daftar terima kasih makasih ya bang beuh)
* Mbak De2w (aku memang baru kenal sama mbak, tapi banyak artikel2 mbak yang memberiku inspirasi. TFS)
* Mbak Dewi (makasih untuk banyak pelukannya)

Juga untuk mbak rakhma, kak eki, kak mala, dan banyak saudara2 lainnya yang tidak dapat ade tuliskan namanya karena banyaknya, terima kasih...
Untuk semua perhatian...
Semua harta karun yang telah dibagikan...
Dan semua cinta...

Hanya Allah yang dapat membalas kebaikan semuanya...

Manusia??? Aneh!

Terkadang, aku berpikir bahwa aku sudah berjumpa dengan semua tipe manusia

Yang aneh, yang konyol, yang suka ngebanyol
Yang suka nyelekit
Yang skeptis
Yang selalu bersemangat, bahkan saat hari terlihat begitu buruk
Yang suka Tepe (tebar pesona)
Yang apa adanya, bahkan saat gak punya duit, dia bisa bilang dengan tegas ke kawan2nya, "sorry gak bisa ikut makan2. Gak ada duit!"
Yang tomboi abis (cewek)
Yang feminin banget (cowok cewek)
Yang lembut
Yang lugu

Aku sudah bertemu dengan begitu banyak orang dalam hidupku hingga rasanya mustahil masih ada tipe manusia yang belum kutemui.
Sebagian dari tipe-tipe ini adalah sahabat-sahabatku
Sebagian lagi sahabat-sahabat yang dekat di hati, jauh di mata
Sebagian lagi bukan sahabat, saudara (seiman, setanah air...)
Sebagian lagi...alien! Alias asing banget! Walau dekat di mata tapi di hati terasa jauh.

Dan baru-baru ini aku berjumpa lagi dengan tipe-tipe baru,
Seorang panic girl. Wajahnya cantik banget (mirip tamara blezensky), tapi selalu panik
Seolah saat itu perang dunia kedua dan bom akan dijatuhkan sewaktu2.
Seolah tiap jam adalah deadline.
Gugupan banget, sampe ada temannya yang bilang, "Bisa nyante gak sih?'
Dan gugup plus paniknya makin bertambah tambah! Sampai semua orang disekitarnya habis disemprotnya dengan kemarahan.
Dan aku? cuma menonton sambil terpaku. Masih ada lagi ya, manusia seperti ini?

Subhanallah...

Saat itu aku merasa, pengetahuanku mengenai manusia tidak ada apa-apanya.
Masih begitu banyak misteri tentang manusia
Sangat banyak untuk diketahui...
Banyak...banyak!


Subhanallah... Subhanallah!

Manusia memang luar biasa!!!

Ikhwan Dilarang Baca!!!

Kenapa harus dengan ikhwan? Lelaki biasa saja sudah cukup! Kata seorang saudariku, setelah kami melalui sesi dialog yang cukup panjang.

Aku terdiam. Sungguh, sulit untuk menolak semua kata-katanya.

Kali ini kami berdiskusi tentang munakahat atau pernikahan. Jujur, dalam usia menjelang 20 tahun, entah mengapa topik ini sering sekali muncul. Mungkin karena banyak teman-teman seangkatan yang telah lebih dulu menggenapkan separuh dien. Atau sebab-sebab yang lain.
Entahlah.

Dialog ini sebenarnya bukan tentang pernikahan. Awalnya kami hanya membahas dinamika dakwah kampus yang memang cenderung centang prenang, lalu berlanjut ke masalah ghirah dakwah yang cenderung menyurut,hingga ke ikhwan dan akhwat dengan ghirah keislaman yang tetap tinggi di tengah badai, lalu dan lalu, ketika dan ketika...

"Tapi ikhwan pun, juga manusia." celutuk saudariku ini.
"Hmm?"
"Iya, bahkan lebih dari manusia."
Aku terdiam, menebak-nebak arah pembicaraan saudariku satu ini. Sepertinya ia pingin ngomongin tentang makhluk langka yang bicaranya suka nunduk-nunduk, berjenggot, dan selalu kelihatan jenggotnya di acara-acara dakwah alias ikhwan, nih. hmm...

Selanjutnya, ia mulai bercerita tentang pengalamannya dan situasi yang telah ia lihat di lembaga dakwah kampusnya di salah satu PTN yang paling ngetop di Indonesia. Tentang kecenderungan ikhwan-ikhwan yang masuk golongan garis keras, untuk selanjutnya menikah hanya dengan akhwat-akhwat yang the best.

"The best disini semuanya. Cantik, sholehah, pinter. Bahkan kadang fisik mendapat prioritas utama di atas semuanya."
Tapi, bisik hatiku. Bukankah Rasulullah sendiri telah...?

"Memang," jawabnya cepat. Seolah bisa membaca pikiranku."Rasulullah mengisyaratkan kecenderungan laki-laki adalah pada 4 hal itu. Tapi, bukankah poin terakhir yang paling digaris bawahi oleh Rasulullah, yaitu agamanya?"

Lebih lanjut, ia mengatakan dengan nada keras. Bahwa para ikhwan itu, yang notebene pengetahuan agamanya (harusnya) lebih baik dari para 'laki-laki biasa' malah memilih calon istrinya berdasarkan kiteria fisik yang utama. Seolah-olah, diantara banyak akhwat yang tersedia, ikhwan itu menderetkannya dari yang tercantik hingga yang tidak, lalu memilih yang tercantik. bukan berdasarkan tingkat keshalehan dan ghirah keislamannya.

"Seolah-olah semua akhwat itu sama tingkatannya. Yang membuatnya lebih unggul hanya kecantikannya. Bahkan banyak akhwat yang hatinya terlanjur patah duluan saat mencintai seorang ikhwan, karena sadar bahwa ia tidaklah secantik bidadari."

Aku merenung saat mendengarnya. Memang banyak sekali sebelum ini, kudengar kisah tentang para akhwat-akhwat dengan semangat jihad yang tinggi, lalu menua dalam penantiannya menunggu jodoh karena fisiknya sedang-sedang saja. Sedangkan akhwat yang biasa-biasa saja dari segi pemahaman keislaman, semangat jihad, dsb, namun memiliki fisik ala putri salju, lebih mudah mendapatkan jodoh!

Masya Allah...

Aku mencoba berhusnudzon terhadap ikhwan-ikhwan itu.
"Mungkin," kataku saat itu."Bukan maksud mereka mendewakan fisik di atas segalanya. Hanya sebuah kewajaran, jika seorang laki-laki (siapa saja) mendambakan istri cantik penyejuk mata. Apalagi seorang ikhwan, yang dengan aktivitas dakwahnya yang berat mendambakan seorang bidadari saat pulang ke rumahnya."

Saudariku ini terdiam. Tapi lantas ia meneruskan dengan sebuah kisah, tentang seorang cowok playboy yang keren, kaya, pintar dan terlihat memiliki segalanya dari dunia.

"Pada akhirnya, ia memilih menikahi seorang perempuan yang shalehah, yang sangat sederhana dan berwajah "biasa saja". Ia ingin seorang yang bisa membimbingnya lebih dekat dengan Allah, dan mendambakan sebuah rumah tangga yang dihiasi keikhlasan dan pembelajaran. Ia ingin istri yang bisa mendampinginya untuk belajar bersama tentang hidup dan kemuliaan."

Lagi-lagi aku terdiam. Ingatanku melayang pada sebuah buku yang pernah kubaca (afwan, lupa judulnya). Dalam salah satu paragraf, disinggung mengenai keberadaan akhwat-akhwat sepuh, yaitu para aktivis dakwah yang Allah belum memperkenankan jodoh untuk mereka hingga di usia senja. kesabaran mereka, husnudzan mereka terhadap para ikhwan...

"Seharusnya, para ikhwan bisa lebih dari para laki-laki biasa itu." Ucap saudariku memutus lamunanku.

Yah, tapi bukankah ikhwan juga laki-laki biasa?
Mereka dapat khilaf, dapat sombong, dapat tersilaukan dengan dunia
Mereka bukan malaikat...

Dan pada akhirnya, sebuah kesimpulan. Seperti yang telah diucapkan saudariku yang cantik di awal kisah ini.

Ah, aku merasa tidak pantas menjudge ikhwan-ikhwan itu.
Sungguh! Aku sadar mereka juga manusia. Penuh khilaf.
Dan lebih tidak pantas lagi untuk bersuudzahan pada mereka
Mungkin mereka bukan menikah karena kecantikan, tapi Allah lah yang berkenan memberikan bidadari di dunia karena keikhlasan mereka dalam dakwah

Mungkin...
Mungkin...
Terlalu banyak mungkin...

"Ya Allah, jauhkanlah kami dari prasangka terhadap saudara kami..."

Munafiknya seorang Muslim

Muslim garis keras?

Entahlah, baru beberapa hari ini kata itu mampir ke telingaku. terasa sebagai tema yang menarik untuk diperbincangkan.
"Terus kenapa?" tanyaku.

"Maksudnya: munafik." jawab temanku itu kalem.

Aahh???
Masya Allah...

Kok bisa gitu?
kejarku.

Percakapan berlanjut. Temanku lantas menceritakan tentang sesosok ikhwan yang begitu tinggi ghirah keislamannya, lalu lantas menjadi begitu munafik saat mengambil sikap antara amanah yang telah ia emban dan terima dengan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. hingga akhirnya ia memilih yang kedua dan mengkhianati amanah teman2 nya. Meski nama ikhwan tersebut sengaja tidak disebutkan oleh temanku ini, hatiku jeri juga mendengarnya.

Memang, temanku ini termasuk muslim yang moderat. Dalam arti, ia bukan seorang aktivis dakwah.meski begitu, ia termasuk pro dakwah. hingga ucapannya itu cukup mengagetkan juga. meski aku tidak setuju dengan pelabelannya yang terkesan agak semena2. Tapi ucapannya itu patut menimbulkan perenungan.

Apakah lantas karena sikap seorang ikhwan antah berantah itu maka seorang muslim yang begitu tinggi ghirah keislamannya hingga dilabeli cap garis keras harus lantas berlabel munafik?

Ahh... entahlah.

Sampai kapan cahaya islam harus selalu tertutup oleh bayang2 kelam penganutnya?
Sampai kapan islam dan muslim harus terpisahkan jaraknya?

Sungguh, tanpa bermaksud menghakimi ikhwan yang kata temanku tadi cukup terkenal sebagai aktivis dakwah garis keras yang selalu frontal dalam memojokkan kebatilan, apakah pantas meninggalkan dakwah demi keuntungan pribadi semata?

Think it!

Muhasabah seorang (Calon) Mujahidah

Alhamdulillah... meski sempat pamit dari dunia MP, rupanya Allah masih memberikan kesempatan untuk hadir kembali di sini sebelum lewat Lebaran.

Di hari ke-26 ini, izinkan aku sedikit bermuhasabah.

Berapa banyak waktuku yang tersisa?

Entahlah, dulu saat aku masih anak-anak. Tak ada yang terpikirkan dan lugu. aku berpikir bahwa usiaku minimal adalah 70 tahun! Naif sekali kan? Memangnya situ yang ngatur umur? ah, entahlah. Sekarang? aku ingin usiaku sesingkat-singkatnya, tapi kaya manfaat.

Tapi aku ingat...
Banyak amanah yang masih belum kutunaikan
Banyak saudaraku yang luput dari sillaturrahim
Banyak sahabat yang telah kukecewakan dengan janji-janji yang tak kutepati
Ada orang tua yang kutinggalkan dengan alasan dakwah, jihad, rapat ini-rapat itu
Ada... Ah, banyak.. terlalu banyak untuk disebutkan.

Dengan cita-citaku dalam jihad, apa yang telah kupersiapkan?

Yang telah kupersiapkan? ah, bahkan hati ini tersentil saat aku dengan lancangnya masuk ke suatu room chat dengan nick name: mujahidah_aqsa (jauuh, masih jauuh...) dan seorang ikhwah bertanya: disana masih ada intifadhah gak? Dan aku gak tau jawabannya!

Ah, kapan terakhir kali aku membuka lembar maya untuk mencari kabar saudara-saudaraku di sana?
Seingatku, informasi terakhir yang kudapat hanya dari buku "Palestine:EGP!" selebihnya tidak ada!
Kapan terakhir aku mendo'akan mereka?
Sulit, sulit kuingat dalam waktu yang berlalu
Lalu apakah aku masih pantas menyebut diriku: mujahidah_aqsa? Maluuu...

Hafalan Al-Qur'anku masih jauh dari harapan
Tarbiyahku masih dangkal
Apa yang kupunyai jika saat ini aku dipanggil Allah?

Ah, di penghujung Ramadhan ini, aku berharap ampunan
Yang terbaik, darinya.

"Allahumma dhalamna anfusana wa illam taghfirlana latarhamna lanakunanna minal khasiriiin.."

Selamat Duluan...

Assalamu'alaikum para MP-ers

Berhubung sebentar lagi lebaran, dan mungkin saya tidak akan online sampai dua hari sebelum lebaran, maka saya mau mengucapkan:




dan untuk sahabat-sahabat sesama pejuang kebenaran, saya ingin berkata:




Semoga Allah mempertemukan kita semua dalam keadaan yang lebih baik.
Amiin...

Kedzaliman Dakwah

Bingung mau nulis apa, soalnya lagi gundah banget. Jadi mau curhat aja ya sama Sang Pemilik segala gundah dan sedih. Kalau ada yang mau baca gak papa kok, kali aja bisa menginspirasi.

***

Ya Allah, galaunya hatiku
Mengapa jalan dakwah ini selalu dipenuhi dengan duri?
Padahal aku tahu itu, tapi diri ini tetap gamang.

"Ikhlas." nasehatnya
Tapi sulit menjaga keikhlasan ini, saat satu demi satu orang pergi dari jalan ini.
Pergi ke jalan mereka sendiri.

Mengapa hamba ditinggalkan, Allah?
Pusing, gamang

Apakah lantas atas nama pengabdian dan keikhlasan semata kedzaliman lantas dilegalkan?
Amanah tertinggal, sedang profesionalisme mati

"Afwan." Katanya lagi
Entah untuk ke berapa ratus kali.
Sekedar gula penawar jamu, pemanis bibir

"Insya Allah."sahutnya lagi
Untuk yang keberapa kali?
Tidakkah malaikat mencatat?

Romansa dakwah ini, sangat pahit
Amburadul
Hanya menerima, lalu lalai akan kesudahannya

Tidakkah segala sesuatu harus dipertanggungjawabkan kelak?
Dimana tempat berdirinya tubuh ini, Ya Rabb???

Saat semua amanah menuding
langitpun menyempit
hanya Engkau yang mendengar

Malangnya Jadi Perempuan


Sungguh malang jadi perempuan
Tiap hidupnya adalah sayatan luka
senyapan kepedihan

Sungguh malang jadi perempuan
Tak punya hak memilih
Hanya hak untuk dipilih

Sungguh malang jadi perempuan
Kesabaran adalah jalannya
Meski untuk itu harus mati

Malang
Perempuan malang

Catatan dari Palestina: Emang Gue Pikirin!

Di tengah hari yang panas

Lagi jalan gak tentu arah di sepanjang jalur kendaraan bermotor depan BEM, tiba2 kami (aku dan sahabatku Putri) berpapasan dengan kakak2 senior di LDF Asy-Syifa'.

"Mau kemana dek?"

"Hemm.. pulang kak."

"Kenapa gak ke MPR aja?"

(Cat: MPR itu Multi Purpose Room. kalo di sini sih, itu adanya di Fakultas Pertanian ya, bukan Majelis Permusyawaratan blablabla.hehe:))

"Emang ada acara apa kak?"
"Bedah buku dek. Buku Palestina Emang Gue Pikirin. Langsung oleh pengarangnya lho dek."

Hemm... dengarnya jadi ragu2. Tahu sih tuh buku emang oke banget. Pengarangnya siapa namanya? O ya, Shofwan al-Banna.

Tapi pagi2 dengerin ceramah? Gak suntuk ya.Apalagi putri, my soulmate sempat-sempatnya bilang,"Paling cuma ceramah aja, bosen!"

Benar juga sih.
Siang-siang Ramadhan, enaknya tidur aja kali ya? Males dengar ceramah lagi.
Tapi kalau alasan gitu ke kak Acit and kak nurul, gak enak banget ya?
Nampak deh kalau kita masih mujahidah kagetan.
Mana tugas masih numpuk nih. Bahan tutorial belum dicari, undangan untuk LDF2 juga belum dibagi.

"Gratis lho dek!"

Hemm... makin goyah.
Finally, nyerah. Go!

Di tempat acara.

"Eh, duduknya dimana nih?"
"Wah, gak kebagian tempat duduk deh kita."
"Nyandar aja, santai."

Rupanya ulah kami yang berisik langsung memancing panitia. Kebetulan nih panitianya yang bernama kak Isil (yang juga senior di kampus), ngeliat kami udah pada jongkok. Langsung deh diusir2 ke depan.

"Ssst... duduk di depan dek."

UAaah... siap-siap ngantuk deh, ngedumelku dalam hati. mana pematerinya tampang ustadz banget lagi! Ya udah, kata-kata senior adalah hukum jadi mau gak mau pindah juga agak ke depan.

Gak berapa lama...

3
2
1

Duar!
Subhanallah...!

Sungguh, kami terpesona (bukan oleh wajah ustadz Shofwan al-Banna-nya lho). Di tengah kedangkalan pola pikir yang ditunjukkan banyak orang, diantaranya keapatisan sejuta umat dalam menanggapi masalah Palestina, kami melihat cahaya!

Saat ustadz itu dengan kebeningan kata-katanya berargumentasi tentang urgensi Palestina, saat ia menerangkan mengapa kita wajib berjihad di Palestina, saat itu, semangat muda kami terbakar! (Cieee...)

Yang ngebuat kami kagum tuh, terutama saat tuh ustadz ngejawab satu pertanyaan (penting untuk diketahui nih, pertanyaan ini selalu muncul saat wacana untuk jihad di Palestina berkembang).

Peserta: Ustadz, saya pernah mendengar bahwa Palestina itu memang sudah ditakdirkan ricuh hingga akhir zaman, jadi untuk apa lagi nih kita berjihad di sana? (redaksi yang sebenarnya beda, tapi pertanyaan ini telah melalui penyuntingan dari pemilik MP ini)

Mendengar pertanyaan ini, kami langsung pasang telinga.

Ustadz Shofwan: Nah, gini. memang ada hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa kondisi Palestina akan ricuh hingga akhir zaman. Tapi yang seharusnya kita perhatikan adalah lanjutan dari haditsnya. Bahwa orang-orang yang tinggal di Syam (baca: Palestina) punya kesempatan jihad yang lebih besar. Dan peluang inilah yang harusnya dimanfaatkan dengan sebaik2nya.
Bukankah Allah tidak melihat hasil? Allah hanya melihat prosesnya. Jadi berorientasilah pada proses, untuk berjihad di sana, dan bukan cuma hasil.

Subhanallah!

Ya Allah, sungguh, kami malu telah berprasangka buruk pada acara ini. Sudah mencap yang bukan-bukan pada acara ini. Diam-diam dalam hati kami beristighfar.

Lalu mulailah kami berkasak kusuk.

Putri: De, tanya dong.
Ade: tanya apaan?
Putri: tanya tentang urgensi jihad di sana. gimana caranya, dll.
Ade: ah, gak berani.
Putri: paling gak, jawabannya kan bisa memacu semangat jihad kita!

Hemm...betul juga nih. Bukan apa-apa. Tapi kami sebagai mujahidah kagetan, belum pernah sekalipun mendapat feedback positif dari keinginan kami untuk berjihadi di Palestina. Yang sering sih orang bilang, "Jihad harta lebih utama." atau "Jihad perempuan ada pada pengabdian kepada suami." Pokoknya membuat semangat kami tambah kuyu. sebel deh

Tapi ustadz ini beda!

Dengan berdebar-debar, aku nunggu momen untuk session kedua pertanyaan. Dan rupanya, session itu gak ada.

Yah. Setelah session itu ditutup, dimulailah pemutaran video Palestina.
Komentar apa yang muncul dari peserta?

Seram
Sadis
Ih, jahat banget ya
Masya Allah
Zionis sialan!
dll.

Kami berdua sedih banget lihatnya. Tapi di balik kesedihan itu, semangat kami kian terbakar, KAMI PASTI AKAN KE PALESTINA!

The Last...

"Pulang yuk? udah hampir siap tuh acaranya."
"E-eh. Ya, bentar lagi. tuh moderatornya nanya sesuatu sama ustadznya."

Moderator: Ustadz, jadi menurut ustadz nih, apa tindakan nyata yang bisa kami lakukan sebagai mahasiswa untuk palestina? kami kan masih mahasiswa, dan mungkin kelak akan jadi guru, dokter, dsb,dll. jadi agak susah untuk berjihad ke sana.

Ustadz Shofwan: Saya pernah bertemu dengan Imam Masjidil Haram, kebetulan waktu itu ada acara dan saya jadi moderatornya. saat itu, beliau mengatakan bahwa Palestina tidak butuh kehadiran kita di sana.

Deg! Wah, kami langsung deg degan.

Ustadz Shofwan: ...karena para ummuhat mereka siap memproduksi mujahid-mujahid kecil sebanyak-banyaknya. sedangkan yang mereka harapkan dari kita adalah bantuan financial. in sangat urgent, mengingat AS telah melakukan embargo ekonomi dan menghambat suplai dana ke Palestina. Sedangkan bantuan yang kedua adalah do'a. Karena do'a adalah senjata orang mukmin. dan yang ketiga, beliau juga menyebutkan bahwa melihat demonstrasi kita untuk menentang penjajahan Israel atas Palestina telah mebangkitkan kekuatan mereka hingga 10x lipat!

DEG! Collapse deh kami. Rupanya ustadz ini sama aja, gak ngedukung semangat kami untuk ke Palestina.

Huaaaa! Hiks... Hiks...

Ya udah deh, kami mau cari pendukung yang lain aja. Sebel pokoknya. Sebeel!

(Eh, heran juga nih. katanya mau jadi mujahidah, tapi kok masih childish ya jangan heran pembaca. yah, itulah kami, mujahidah kagetan cap kacang goreng. Masih modal semangat sama dengkul doang. Kapan yang kami bisa berubah?)

Pas mau pulang (The last of Last)


"Eh, tolong mintain dong."
"Gak mau, putri aja."
"Yee...katanya mau jadi mujahidah. Tapi masa urusan gini aja takut sih."

Aku hanya nyegir kuda. ya, kami memang lagi saling tunjuk menunjuk untuk minta tanda tangan tuh ustadz. Bukan buat koleksi pribadi lho, tapi buat ditempel di mading Asy-Syifa'.

"Dapat?" bisikku setelah bang Benny, panitia yang kami tumbalkan untuk minta tanda tangan dan pesan dari ustadz Shofwan berlalu.

"Dapat. Nih." selembar kertas berkop Susu bendera (bukan produk Zionis lho) diulurkan kepadaku. Beberapa baris kata tertulis di sana:

Untuk temen2 Asy-Syifa'

Subhanallah, temen-temen di sini sangat bersemangat ya! Semoga Allah mencurahkan barokah. saya bisa melihat cahaya kebangkitan di wajah kalian, Insya Allah!"

Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Aku rasa, beliau benar...

Amiin do'anya. Tapi kapan ya cahaya kebangkitan itu akan bersinar?

Sulit menjawabnya. Apalagi bagi mujahidah-mujahidah cap kacang goreng seperti kami...




Less About Teen

Remaja berprestasi? Mungkin lebih tepat mengaitkan istilah remaja berprestasi dengan RemPaTuH (Remaja Punya Tujuan Hidup). Kenapa? Mungkin karena tujuan hidup itu memang tidak pernah jauh dari keinginan untuk berbuat. Tujuan hidup adalah motivasi. Motivasi yang paling besar yang dapat dimiliki oleh seorang remaja yang masih sangat hijau, biasanya berkisar pada dua kata besar: eksistensi diri.
Ya, RemPatuh biasanya hanyalah remaja-remaja gelisah yang ingin menemukan eksistensi diri mereka dengan acuan moral yang telah mereka miliki. Saya cenderung berpendapat bahwa RemPaTuh itu sebagian besar bukanlah remaja yang ‘normal’. Karena istilah normal memang bukan untuk remaja. Jika Lupus dikatakan bukan remaja normal, maka siapa yang dapat dikatan sebagai remaja normal? Bahkan ejekan untuk remaja-remaja yang selalu siaga 1 dengan bukunya selalu lantang terdengar. Normalkah itu?
Sebagaimana istilah RemPaTuh, mereka juga memiliki suatu rem yang membuat mereka bersedia patuh. Rem itu dikenal dengan nama fitrah dan lingkungan. Fitrah yang memang sudah dimiliki sejak lahir benar-benar sebuah rem yang sangat bagus untuk mencetak remaja-remaja. Ibarat pensil, fitrah hanya perlu terus menerus ‘diruncingkan’ biar tidak tumpul. Sedang lingkungan... bahkan anak kembar pun punya perbedaan dalam prestasi hidup jika dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda.
Kembali ke masalah tujuan hidup. Banyak remaja yang cenderung terlalu kaku dalam memilih tujuan hidup. Mereka menganggap bahwa tujuan hidup adalah sebuah harga mati. Sekali A tetap A. Mustahil B karena A bukan B. Benar, tapi tujuan hidup yang terlalu kaku, terkadang malah membuat remaja menjadi sosok yang sangat labil sehingga ketika gerak tujuan hidup yang telah dicanangkan mencapat titik ‘0’ alias ‘mission impossible’, mereka jadi frustasi. Maka hilanglah sosok RemPaTuH itu.
Sedangkan remaja yang tujuan hidupnya terus berubah, ibarat petani yang sibuk mengganti tanamannya. Hari ini ia melihat harga cabe mahal, maka ia menanam cabe. Besoknya harga cabe jatuh dan harga tomat melambung, maka ia menanam tomat. Begitu seterusnya. Tak ada konsistensi. Maka apa yang akan terjadi pada si petani? Tentu tidak sulit untuk ditebak.
Tujuan hidup juga merupakan pilihan. Dan kebanyakan remaja mengidentikkan pilihan tujuan hidup itu dengan pilihan pekerjaan! Benarkah demikian? Kalau begitu mari kita mendengarkan sebuah kisah terlebih dahulu untuk selingan. Saya yakin banyak hikmah dari cerita ini yang akan sedikit membantu.
***
Cerita Bung Andi (dikutip dari milis)
Banyak yang bertanya mengapa saya (Andi F. Noya) mengundurkan diri
sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk
meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena
pecah kongs dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan
dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi
yang tinggi, dengan power yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah
stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang
beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri
beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa
mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan didalam kolam.
Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan
tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja,
sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV.
Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My
Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua
kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat
mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan
kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap
mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu
yakin sampai kiamatpun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat
lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh
seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu
tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka
dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju
yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan
menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu
siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna
menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak
mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan
mati digilas waktu. Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada
dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah
yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar
dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap
hari keju itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti
lentera jiwa saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin
berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan
yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati
saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak
orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang
yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang
kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan
jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya
ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat.
Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan
ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa
hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia. Ketika diminta untuk
menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak
mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang.
Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang
jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga)
atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak
mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka
tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus
2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan
besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan
lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil
keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak
memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan
menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di
televisi dan kini memiliki restoran sendiri. Saya sangat bahagia
dengan apa yang saya kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal, orangtuanya
menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat
beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah
animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta
mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak
sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan.
Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan
bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam
kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak
yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja dibidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti
rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo, salah
satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling
Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji.
Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon
mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. Semua
karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya.Cinta
saya. Hidup saya, katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah
berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
Yang sangat indah yang dapat saya tangkap adalah satu kalimat yang serasa berdentang dentang dalam jiwa: "Jika tujuan hidup adalah bekerja, maka tujuan hidup itu sendiri bukanlah sebuah tujuan."
Tidaklah salah memilih pekerjaan sebagai tujuan hidup, tapi bukankah seperti bung Andi, kita dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan tujuan hidup kita? Mungkin untuk para RemPaTuH, hal ini sudah dapat terbayang di depan mata dengan jelas, sejelas awan mendung.

Hal-hal yang Tekadang Luput


Suatu hari, saya sedang duduk di sebuah kursi, di dalam kamar saya yang sempit. Membuka halaman demi halaman digital, dan tekun mengerjakan seabrek tugas keorganisasian. Saat itu hanya selintas, hati saya tergelitik: Benarkah pekerjaan ini sesuai untuk saya? Apakah saya ingin perkerjaan ini kelak, selepas kuliah dan saat hidup semakin mandiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin bermunculan. Dan di depan layar komputer yang terus berkedip, saya merasakan pertanyaan itu terus bergelombang menghantam pikiran saya: Bagaimana dengan remaja yang lain? Apakah hanya saya yang hidup dengan kegelisahan ini?Dan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah terhenti dengan mudah. Masa depan serasa semakin menyesakkan dan tidak pasti.

Saya menghitung usia saya. Ah, bulan depan usia saya genap 19 tahun. Bukankah usia ini adalah usia rasionalitas? Dimana mimpi dianggap tidak relevan, dan saya juga merasakan ketidakrelevanan hidup.

Saya seolah dapat melihat diri saya dimasa depan dari jendela rumah seorang tetangga. Saya dimasa depan, hanya seorang ibu rumah tangga dengan daster dan rambut disanggul yang acak-acakan. Bergelut dengan balita yang rewel dan tugas rumah tangga yang tak habis-habisnya. Tak ada gairah hidup di sana. Tak ada lagi keinginan untuk mencetak generasi muda tangguh dalam memperjuangkan Islam. Tak ada lagi istilah jihad. Yang ada hanya kepenatan dan beban yang terus menuakan saya dari hari ke hari.

Bagaikan Ikal kecil yang melihat dirinya dari jendela warung mie rebus, saya pun begitu. Hanya saja bayangan itu terasa lebih suram. Tak ada lagi eksistensi diri sebagai muslim yang ingin ditegakkan, yang saya punya hanyalah usia yang terus bertambah dan budaya yang membelenggu tiap langkah kaki untuk terus mencari jodoh dan hidup hanya untuk menikah dan beranak.Renungan di Ramadhan ini begitu pahit. Lalu saya ingat, bahkan di hari ke-9 puasa ini, saya masih belum luput dari hitungan dua juz.Astaghfirullah...