Munafiknya seorang Muslim

Muslim garis keras?

Entahlah, baru beberapa hari ini kata itu mampir ke telingaku. terasa sebagai tema yang menarik untuk diperbincangkan.
"Terus kenapa?" tanyaku.

"Maksudnya: munafik." jawab temanku itu kalem.

Aahh???
Masya Allah...

Kok bisa gitu?
kejarku.

Percakapan berlanjut. Temanku lantas menceritakan tentang sesosok ikhwan yang begitu tinggi ghirah keislamannya, lalu lantas menjadi begitu munafik saat mengambil sikap antara amanah yang telah ia emban dan terima dengan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. hingga akhirnya ia memilih yang kedua dan mengkhianati amanah teman2 nya. Meski nama ikhwan tersebut sengaja tidak disebutkan oleh temanku ini, hatiku jeri juga mendengarnya.

Memang, temanku ini termasuk muslim yang moderat. Dalam arti, ia bukan seorang aktivis dakwah.meski begitu, ia termasuk pro dakwah. hingga ucapannya itu cukup mengagetkan juga. meski aku tidak setuju dengan pelabelannya yang terkesan agak semena2. Tapi ucapannya itu patut menimbulkan perenungan.

Apakah lantas karena sikap seorang ikhwan antah berantah itu maka seorang muslim yang begitu tinggi ghirah keislamannya hingga dilabeli cap garis keras harus lantas berlabel munafik?

Ahh... entahlah.

Sampai kapan cahaya islam harus selalu tertutup oleh bayang2 kelam penganutnya?
Sampai kapan islam dan muslim harus terpisahkan jaraknya?

Sungguh, tanpa bermaksud menghakimi ikhwan yang kata temanku tadi cukup terkenal sebagai aktivis dakwah garis keras yang selalu frontal dalam memojokkan kebatilan, apakah pantas meninggalkan dakwah demi keuntungan pribadi semata?

Think it!

Muhasabah seorang (Calon) Mujahidah

Alhamdulillah... meski sempat pamit dari dunia MP, rupanya Allah masih memberikan kesempatan untuk hadir kembali di sini sebelum lewat Lebaran.

Di hari ke-26 ini, izinkan aku sedikit bermuhasabah.

Berapa banyak waktuku yang tersisa?

Entahlah, dulu saat aku masih anak-anak. Tak ada yang terpikirkan dan lugu. aku berpikir bahwa usiaku minimal adalah 70 tahun! Naif sekali kan? Memangnya situ yang ngatur umur? ah, entahlah. Sekarang? aku ingin usiaku sesingkat-singkatnya, tapi kaya manfaat.

Tapi aku ingat...
Banyak amanah yang masih belum kutunaikan
Banyak saudaraku yang luput dari sillaturrahim
Banyak sahabat yang telah kukecewakan dengan janji-janji yang tak kutepati
Ada orang tua yang kutinggalkan dengan alasan dakwah, jihad, rapat ini-rapat itu
Ada... Ah, banyak.. terlalu banyak untuk disebutkan.

Dengan cita-citaku dalam jihad, apa yang telah kupersiapkan?

Yang telah kupersiapkan? ah, bahkan hati ini tersentil saat aku dengan lancangnya masuk ke suatu room chat dengan nick name: mujahidah_aqsa (jauuh, masih jauuh...) dan seorang ikhwah bertanya: disana masih ada intifadhah gak? Dan aku gak tau jawabannya!

Ah, kapan terakhir kali aku membuka lembar maya untuk mencari kabar saudara-saudaraku di sana?
Seingatku, informasi terakhir yang kudapat hanya dari buku "Palestine:EGP!" selebihnya tidak ada!
Kapan terakhir aku mendo'akan mereka?
Sulit, sulit kuingat dalam waktu yang berlalu
Lalu apakah aku masih pantas menyebut diriku: mujahidah_aqsa? Maluuu...

Hafalan Al-Qur'anku masih jauh dari harapan
Tarbiyahku masih dangkal
Apa yang kupunyai jika saat ini aku dipanggil Allah?

Ah, di penghujung Ramadhan ini, aku berharap ampunan
Yang terbaik, darinya.

"Allahumma dhalamna anfusana wa illam taghfirlana latarhamna lanakunanna minal khasiriiin.."

Selamat Duluan...

Assalamu'alaikum para MP-ers

Berhubung sebentar lagi lebaran, dan mungkin saya tidak akan online sampai dua hari sebelum lebaran, maka saya mau mengucapkan:




dan untuk sahabat-sahabat sesama pejuang kebenaran, saya ingin berkata:




Semoga Allah mempertemukan kita semua dalam keadaan yang lebih baik.
Amiin...

Kedzaliman Dakwah

Bingung mau nulis apa, soalnya lagi gundah banget. Jadi mau curhat aja ya sama Sang Pemilik segala gundah dan sedih. Kalau ada yang mau baca gak papa kok, kali aja bisa menginspirasi.

***

Ya Allah, galaunya hatiku
Mengapa jalan dakwah ini selalu dipenuhi dengan duri?
Padahal aku tahu itu, tapi diri ini tetap gamang.

"Ikhlas." nasehatnya
Tapi sulit menjaga keikhlasan ini, saat satu demi satu orang pergi dari jalan ini.
Pergi ke jalan mereka sendiri.

Mengapa hamba ditinggalkan, Allah?
Pusing, gamang

Apakah lantas atas nama pengabdian dan keikhlasan semata kedzaliman lantas dilegalkan?
Amanah tertinggal, sedang profesionalisme mati

"Afwan." Katanya lagi
Entah untuk ke berapa ratus kali.
Sekedar gula penawar jamu, pemanis bibir

"Insya Allah."sahutnya lagi
Untuk yang keberapa kali?
Tidakkah malaikat mencatat?

Romansa dakwah ini, sangat pahit
Amburadul
Hanya menerima, lalu lalai akan kesudahannya

Tidakkah segala sesuatu harus dipertanggungjawabkan kelak?
Dimana tempat berdirinya tubuh ini, Ya Rabb???

Saat semua amanah menuding
langitpun menyempit
hanya Engkau yang mendengar

Malangnya Jadi Perempuan


Sungguh malang jadi perempuan
Tiap hidupnya adalah sayatan luka
senyapan kepedihan

Sungguh malang jadi perempuan
Tak punya hak memilih
Hanya hak untuk dipilih

Sungguh malang jadi perempuan
Kesabaran adalah jalannya
Meski untuk itu harus mati

Malang
Perempuan malang

Catatan dari Palestina: Emang Gue Pikirin!

Di tengah hari yang panas

Lagi jalan gak tentu arah di sepanjang jalur kendaraan bermotor depan BEM, tiba2 kami (aku dan sahabatku Putri) berpapasan dengan kakak2 senior di LDF Asy-Syifa'.

"Mau kemana dek?"

"Hemm.. pulang kak."

"Kenapa gak ke MPR aja?"

(Cat: MPR itu Multi Purpose Room. kalo di sini sih, itu adanya di Fakultas Pertanian ya, bukan Majelis Permusyawaratan blablabla.hehe:))

"Emang ada acara apa kak?"
"Bedah buku dek. Buku Palestina Emang Gue Pikirin. Langsung oleh pengarangnya lho dek."

Hemm... dengarnya jadi ragu2. Tahu sih tuh buku emang oke banget. Pengarangnya siapa namanya? O ya, Shofwan al-Banna.

Tapi pagi2 dengerin ceramah? Gak suntuk ya.Apalagi putri, my soulmate sempat-sempatnya bilang,"Paling cuma ceramah aja, bosen!"

Benar juga sih.
Siang-siang Ramadhan, enaknya tidur aja kali ya? Males dengar ceramah lagi.
Tapi kalau alasan gitu ke kak Acit and kak nurul, gak enak banget ya?
Nampak deh kalau kita masih mujahidah kagetan.
Mana tugas masih numpuk nih. Bahan tutorial belum dicari, undangan untuk LDF2 juga belum dibagi.

"Gratis lho dek!"

Hemm... makin goyah.
Finally, nyerah. Go!

Di tempat acara.

"Eh, duduknya dimana nih?"
"Wah, gak kebagian tempat duduk deh kita."
"Nyandar aja, santai."

Rupanya ulah kami yang berisik langsung memancing panitia. Kebetulan nih panitianya yang bernama kak Isil (yang juga senior di kampus), ngeliat kami udah pada jongkok. Langsung deh diusir2 ke depan.

"Ssst... duduk di depan dek."

UAaah... siap-siap ngantuk deh, ngedumelku dalam hati. mana pematerinya tampang ustadz banget lagi! Ya udah, kata-kata senior adalah hukum jadi mau gak mau pindah juga agak ke depan.

Gak berapa lama...

3
2
1

Duar!
Subhanallah...!

Sungguh, kami terpesona (bukan oleh wajah ustadz Shofwan al-Banna-nya lho). Di tengah kedangkalan pola pikir yang ditunjukkan banyak orang, diantaranya keapatisan sejuta umat dalam menanggapi masalah Palestina, kami melihat cahaya!

Saat ustadz itu dengan kebeningan kata-katanya berargumentasi tentang urgensi Palestina, saat ia menerangkan mengapa kita wajib berjihad di Palestina, saat itu, semangat muda kami terbakar! (Cieee...)

Yang ngebuat kami kagum tuh, terutama saat tuh ustadz ngejawab satu pertanyaan (penting untuk diketahui nih, pertanyaan ini selalu muncul saat wacana untuk jihad di Palestina berkembang).

Peserta: Ustadz, saya pernah mendengar bahwa Palestina itu memang sudah ditakdirkan ricuh hingga akhir zaman, jadi untuk apa lagi nih kita berjihad di sana? (redaksi yang sebenarnya beda, tapi pertanyaan ini telah melalui penyuntingan dari pemilik MP ini)

Mendengar pertanyaan ini, kami langsung pasang telinga.

Ustadz Shofwan: Nah, gini. memang ada hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa kondisi Palestina akan ricuh hingga akhir zaman. Tapi yang seharusnya kita perhatikan adalah lanjutan dari haditsnya. Bahwa orang-orang yang tinggal di Syam (baca: Palestina) punya kesempatan jihad yang lebih besar. Dan peluang inilah yang harusnya dimanfaatkan dengan sebaik2nya.
Bukankah Allah tidak melihat hasil? Allah hanya melihat prosesnya. Jadi berorientasilah pada proses, untuk berjihad di sana, dan bukan cuma hasil.

Subhanallah!

Ya Allah, sungguh, kami malu telah berprasangka buruk pada acara ini. Sudah mencap yang bukan-bukan pada acara ini. Diam-diam dalam hati kami beristighfar.

Lalu mulailah kami berkasak kusuk.

Putri: De, tanya dong.
Ade: tanya apaan?
Putri: tanya tentang urgensi jihad di sana. gimana caranya, dll.
Ade: ah, gak berani.
Putri: paling gak, jawabannya kan bisa memacu semangat jihad kita!

Hemm...betul juga nih. Bukan apa-apa. Tapi kami sebagai mujahidah kagetan, belum pernah sekalipun mendapat feedback positif dari keinginan kami untuk berjihadi di Palestina. Yang sering sih orang bilang, "Jihad harta lebih utama." atau "Jihad perempuan ada pada pengabdian kepada suami." Pokoknya membuat semangat kami tambah kuyu. sebel deh

Tapi ustadz ini beda!

Dengan berdebar-debar, aku nunggu momen untuk session kedua pertanyaan. Dan rupanya, session itu gak ada.

Yah. Setelah session itu ditutup, dimulailah pemutaran video Palestina.
Komentar apa yang muncul dari peserta?

Seram
Sadis
Ih, jahat banget ya
Masya Allah
Zionis sialan!
dll.

Kami berdua sedih banget lihatnya. Tapi di balik kesedihan itu, semangat kami kian terbakar, KAMI PASTI AKAN KE PALESTINA!

The Last...

"Pulang yuk? udah hampir siap tuh acaranya."
"E-eh. Ya, bentar lagi. tuh moderatornya nanya sesuatu sama ustadznya."

Moderator: Ustadz, jadi menurut ustadz nih, apa tindakan nyata yang bisa kami lakukan sebagai mahasiswa untuk palestina? kami kan masih mahasiswa, dan mungkin kelak akan jadi guru, dokter, dsb,dll. jadi agak susah untuk berjihad ke sana.

Ustadz Shofwan: Saya pernah bertemu dengan Imam Masjidil Haram, kebetulan waktu itu ada acara dan saya jadi moderatornya. saat itu, beliau mengatakan bahwa Palestina tidak butuh kehadiran kita di sana.

Deg! Wah, kami langsung deg degan.

Ustadz Shofwan: ...karena para ummuhat mereka siap memproduksi mujahid-mujahid kecil sebanyak-banyaknya. sedangkan yang mereka harapkan dari kita adalah bantuan financial. in sangat urgent, mengingat AS telah melakukan embargo ekonomi dan menghambat suplai dana ke Palestina. Sedangkan bantuan yang kedua adalah do'a. Karena do'a adalah senjata orang mukmin. dan yang ketiga, beliau juga menyebutkan bahwa melihat demonstrasi kita untuk menentang penjajahan Israel atas Palestina telah mebangkitkan kekuatan mereka hingga 10x lipat!

DEG! Collapse deh kami. Rupanya ustadz ini sama aja, gak ngedukung semangat kami untuk ke Palestina.

Huaaaa! Hiks... Hiks...

Ya udah deh, kami mau cari pendukung yang lain aja. Sebel pokoknya. Sebeel!

(Eh, heran juga nih. katanya mau jadi mujahidah, tapi kok masih childish ya jangan heran pembaca. yah, itulah kami, mujahidah kagetan cap kacang goreng. Masih modal semangat sama dengkul doang. Kapan yang kami bisa berubah?)

Pas mau pulang (The last of Last)


"Eh, tolong mintain dong."
"Gak mau, putri aja."
"Yee...katanya mau jadi mujahidah. Tapi masa urusan gini aja takut sih."

Aku hanya nyegir kuda. ya, kami memang lagi saling tunjuk menunjuk untuk minta tanda tangan tuh ustadz. Bukan buat koleksi pribadi lho, tapi buat ditempel di mading Asy-Syifa'.

"Dapat?" bisikku setelah bang Benny, panitia yang kami tumbalkan untuk minta tanda tangan dan pesan dari ustadz Shofwan berlalu.

"Dapat. Nih." selembar kertas berkop Susu bendera (bukan produk Zionis lho) diulurkan kepadaku. Beberapa baris kata tertulis di sana:

Untuk temen2 Asy-Syifa'

Subhanallah, temen-temen di sini sangat bersemangat ya! Semoga Allah mencurahkan barokah. saya bisa melihat cahaya kebangkitan di wajah kalian, Insya Allah!"

Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Aku rasa, beliau benar...

Amiin do'anya. Tapi kapan ya cahaya kebangkitan itu akan bersinar?

Sulit menjawabnya. Apalagi bagi mujahidah-mujahidah cap kacang goreng seperti kami...




Less About Teen

Remaja berprestasi? Mungkin lebih tepat mengaitkan istilah remaja berprestasi dengan RemPaTuH (Remaja Punya Tujuan Hidup). Kenapa? Mungkin karena tujuan hidup itu memang tidak pernah jauh dari keinginan untuk berbuat. Tujuan hidup adalah motivasi. Motivasi yang paling besar yang dapat dimiliki oleh seorang remaja yang masih sangat hijau, biasanya berkisar pada dua kata besar: eksistensi diri.
Ya, RemPatuh biasanya hanyalah remaja-remaja gelisah yang ingin menemukan eksistensi diri mereka dengan acuan moral yang telah mereka miliki. Saya cenderung berpendapat bahwa RemPaTuh itu sebagian besar bukanlah remaja yang ‘normal’. Karena istilah normal memang bukan untuk remaja. Jika Lupus dikatakan bukan remaja normal, maka siapa yang dapat dikatan sebagai remaja normal? Bahkan ejekan untuk remaja-remaja yang selalu siaga 1 dengan bukunya selalu lantang terdengar. Normalkah itu?
Sebagaimana istilah RemPaTuh, mereka juga memiliki suatu rem yang membuat mereka bersedia patuh. Rem itu dikenal dengan nama fitrah dan lingkungan. Fitrah yang memang sudah dimiliki sejak lahir benar-benar sebuah rem yang sangat bagus untuk mencetak remaja-remaja. Ibarat pensil, fitrah hanya perlu terus menerus ‘diruncingkan’ biar tidak tumpul. Sedang lingkungan... bahkan anak kembar pun punya perbedaan dalam prestasi hidup jika dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda.
Kembali ke masalah tujuan hidup. Banyak remaja yang cenderung terlalu kaku dalam memilih tujuan hidup. Mereka menganggap bahwa tujuan hidup adalah sebuah harga mati. Sekali A tetap A. Mustahil B karena A bukan B. Benar, tapi tujuan hidup yang terlalu kaku, terkadang malah membuat remaja menjadi sosok yang sangat labil sehingga ketika gerak tujuan hidup yang telah dicanangkan mencapat titik ‘0’ alias ‘mission impossible’, mereka jadi frustasi. Maka hilanglah sosok RemPaTuH itu.
Sedangkan remaja yang tujuan hidupnya terus berubah, ibarat petani yang sibuk mengganti tanamannya. Hari ini ia melihat harga cabe mahal, maka ia menanam cabe. Besoknya harga cabe jatuh dan harga tomat melambung, maka ia menanam tomat. Begitu seterusnya. Tak ada konsistensi. Maka apa yang akan terjadi pada si petani? Tentu tidak sulit untuk ditebak.
Tujuan hidup juga merupakan pilihan. Dan kebanyakan remaja mengidentikkan pilihan tujuan hidup itu dengan pilihan pekerjaan! Benarkah demikian? Kalau begitu mari kita mendengarkan sebuah kisah terlebih dahulu untuk selingan. Saya yakin banyak hikmah dari cerita ini yang akan sedikit membantu.
***
Cerita Bung Andi (dikutip dari milis)
Banyak yang bertanya mengapa saya (Andi F. Noya) mengundurkan diri
sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk
meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena
pecah kongs dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan
dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi
yang tinggi, dengan power yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah
stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang
beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri
beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa
mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan didalam kolam.
Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan
tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja,
sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV.
Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My
Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua
kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat
mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan
kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap
mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu
yakin sampai kiamatpun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat
lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh
seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu
tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka
dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju
yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan
menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu
siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna
menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak
mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan
mati digilas waktu. Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada
dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah
yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar
dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap
hari keju itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti
lentera jiwa saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin
berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan
yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati
saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak
orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang
yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang
kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan
jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya
ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat.
Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan
ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa
hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia. Ketika diminta untuk
menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak
mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang.
Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang
jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga)
atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak
mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka
tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus
2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan
besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan
lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil
keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak
memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan
menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di
televisi dan kini memiliki restoran sendiri. Saya sangat bahagia
dengan apa yang saya kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal, orangtuanya
menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat
beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah
animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta
mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak
sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan.
Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan
bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam
kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak
yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja dibidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti
rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo, salah
satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling
Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji.
Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon
mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. Semua
karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya.Cinta
saya. Hidup saya, katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah
berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
Yang sangat indah yang dapat saya tangkap adalah satu kalimat yang serasa berdentang dentang dalam jiwa: "Jika tujuan hidup adalah bekerja, maka tujuan hidup itu sendiri bukanlah sebuah tujuan."
Tidaklah salah memilih pekerjaan sebagai tujuan hidup, tapi bukankah seperti bung Andi, kita dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan tujuan hidup kita? Mungkin untuk para RemPaTuH, hal ini sudah dapat terbayang di depan mata dengan jelas, sejelas awan mendung.

Hal-hal yang Tekadang Luput


Suatu hari, saya sedang duduk di sebuah kursi, di dalam kamar saya yang sempit. Membuka halaman demi halaman digital, dan tekun mengerjakan seabrek tugas keorganisasian. Saat itu hanya selintas, hati saya tergelitik: Benarkah pekerjaan ini sesuai untuk saya? Apakah saya ingin perkerjaan ini kelak, selepas kuliah dan saat hidup semakin mandiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin bermunculan. Dan di depan layar komputer yang terus berkedip, saya merasakan pertanyaan itu terus bergelombang menghantam pikiran saya: Bagaimana dengan remaja yang lain? Apakah hanya saya yang hidup dengan kegelisahan ini?Dan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah terhenti dengan mudah. Masa depan serasa semakin menyesakkan dan tidak pasti.

Saya menghitung usia saya. Ah, bulan depan usia saya genap 19 tahun. Bukankah usia ini adalah usia rasionalitas? Dimana mimpi dianggap tidak relevan, dan saya juga merasakan ketidakrelevanan hidup.

Saya seolah dapat melihat diri saya dimasa depan dari jendela rumah seorang tetangga. Saya dimasa depan, hanya seorang ibu rumah tangga dengan daster dan rambut disanggul yang acak-acakan. Bergelut dengan balita yang rewel dan tugas rumah tangga yang tak habis-habisnya. Tak ada gairah hidup di sana. Tak ada lagi keinginan untuk mencetak generasi muda tangguh dalam memperjuangkan Islam. Tak ada lagi istilah jihad. Yang ada hanya kepenatan dan beban yang terus menuakan saya dari hari ke hari.

Bagaikan Ikal kecil yang melihat dirinya dari jendela warung mie rebus, saya pun begitu. Hanya saja bayangan itu terasa lebih suram. Tak ada lagi eksistensi diri sebagai muslim yang ingin ditegakkan, yang saya punya hanyalah usia yang terus bertambah dan budaya yang membelenggu tiap langkah kaki untuk terus mencari jodoh dan hidup hanya untuk menikah dan beranak.Renungan di Ramadhan ini begitu pahit. Lalu saya ingat, bahkan di hari ke-9 puasa ini, saya masih belum luput dari hitungan dua juz.Astaghfirullah...

Doa Sunyi

R
Rasanya sunyi

Benar-benar sunyi disini

Suara-suara samar bergumam

Berdengung membekukan hati yang retak

Hidup hilang dalam gelombang hening

Hanya Tuhan yang mendengar

Yang lain tuli

Hanya Tuhan yang bicara

Yang lain bisu

Masih sunyi di sini

Hari ini, besok malam, besok pagi, dan selamanya

Terus sunyi

Aku tergeragap

Waktuku habis, tapi sunyi?

Masih abadi

BUKU BUKA BUKU, Sampah Peradaban

Adakah keindahan saat hati tidak sejalan dengan otak?

Saat membaca aneka buku "margasatwa" seperti Saman, Larung... otak serasa begitu mendidih dengan aneka rasa nano-nano. Keliaran, jijik, sebel, muak, marah, dll menjadi satu. tumplek blek.

Masya Allah...

Sebenarnya bagi saya, buku adalah pencerah, pengusung peradaban umat. Buku bukan sekedar bacaan ringan saat otak dan otot sudah penat dengan pekerjaan sehari-hari. Buku punya makna yang lebih dari itu. Bahkan buku juga bukan sekedar pemuas fantasi saat masa pubertas dan post-nya terlewati.Jelas bukan! Buku tidak punya arti serendah itu. Yang punya makna serendah itu bukan buku. Hanya kertas bungkus pisang goreng yang dicetak di percetakan, cuma itu.

Karenanya, saya bangga dibilang kutu... eh, PREDATOR BUKU. BANGGA, BANGGAAAA!!!