KAkakku CHayank

Kakakku satu-satunya, Febri Nurrahmi adalah Mahasiswi UI jurusan Ilmu Komunikasi FISIP yang sangat idealis dan membanggakan. Ia memang telah menunjukkan bakat sebagai orang besar sejak kecil. Ia cerdas, pandai bicara dan berdebat, serta pantang menyerah. Agak perfeksionis memang, tapi ini memang ciri orang besar. ia sangat suka belajar, meski berulang kali mengatakan bahwa ia jarang belajar, tapi aku paling tahu bagaimana seriusnya ia saat membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Ia pandai dalam semua pelajaran, tapi bakatnya paling menonjol dalam pelajaran fisika dan kimia. Ia sangat lemah dalam pelajaran olahraga dan selalu menjadi yang paling buncit dalam setiap event atletik. Dari segi fisik ia juga cukup oke, standar untuk rata-rata wanita Indonesia. Wajahnya agak tirus, hidungnya cukup mancung dan tidak punya buah pipi. Senyumnya manis dan selalu penuh percaya diri. Tingkah lakunya juga menyenangkan. Ia supel dan cepat akrab dengan setiap orang. Meski baru pertama kali mengenal dan berbicara dengannya, orang sudah merasa nyambung dan cocok dengannya. Ia tahu cara menghargai orang lain, baik yang lebih muda, sebaya, maupun yang lebih tua. Adik kelas dapat bermanja dengan nyaman padanya, teman sebaya mencurahkan segala ganjalan dalam hati mereka padanya, dan orang yang lebih tua terpikat dengan segala sopan santun dan tutur katanya. Namun yang menjadikan aku menyayangi dan sangat bangga padanya bukanlah semua kelebihannya yang telah kusebutkan sebelumnya. Aku sayang dia meski dia tidak cerdas, pandai berpidato, dan cantik. Aku juga sayang dia meski dia cerewet, suka bawel, egois, dan suka menggurui. Aku sayang dia karena dia adalah kak ami-ku. Satu-satunya kakak perempuanku yang selalu melindungiku sejak aku kecil dari segala macam gangguan (meski sikap sok pelindungnya itu malah sering bikin aku jatuh dalam masalah sih L ), juga paling mengerti tentang segala bentuk keegoisan dan ‘brutalisme’ yang sering terjadi di antara kami. Tapi dibalik semua sikap superiornya, aku ngerti bahwa ia merasa lemah. Sama dengan banyak anak broken home lainnya, ia punya perasaan gak berharga dan takut tersakiti. Ia menutupinya dengan sikap pede cenderung sombongnya itu. Aku gak tahu apa ini sedikit demi sedikit akan menghilang. Aku kadang bingung juga gimana harus bersikap padanya. Apa harus marah-marah, lembut kalem, atau justru melankolis? Memang kadang-kadang aku cemburu dan merasa iri hati padanya. Aku merasa apapun yang aku lakukan, aku gak bakal sehebat dia, apalagi mengungguli dia. Tapi aku semakin lama makin sadar, aku ya aku. Dia ya dia. Kami adalah dua individu yang berbeda, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan sendiri. Lengkap dengan segala karakteristik yang unik. Dulu ada masa-masa aku ngerasa gak berharga dibanding kakakku. Aku bertanya-tanya: mengapa dia bisa sangat luar biasa sedang aku tetap bukan siap-siapa? Tapi makin lama aku makin sadar dan insyaf. Sekarang aku masih bersyukur memiliki kakak yang luar biasa seperti dia. Karena jika dia tidak luar biasa seperti itu dan menjadi seperti bayang-bayang besar yang menutupi kehadiranku, mungkin aku gak bakal pernah berusaha untuk mencari kelebihanku dan terpacu untuk berprestasi. Juga berusaha untuk menemukan perlindungan dengan berusaha mendekati Tuhan dan menjadi sosok yang lebih religius… Aku berterima kasih padanya. Dan aku tetap hidup dengan penuh rasa syukur dan terima kasih hingga hari ini. Aku merasa hidup dan tidak lagi mati. Aku juga bukan tikus lemah dibalik bayang-bayang kebesaran matahari. Tapi aku adalah bintang bagi diriku sendiri dan orang di sekitarku, Insya Allah…

0 comments: