DIALOG PARA BONEKA

Ruangan itu gelap dan berantakan. Di sudut ruangan teronggok pasrah setumpuk barang-barang bekas yang mungkin takkan pernah terpakai lagi, tapi sayang untuk dibuang. Biola tanpa senar, gundukan tirai-tirai tebal dengan rumbai yang telah berlubang-lubang, tumpukan kostum-kostum etnik model kuno, dan sebuah kardus besar penuh dengan gundukan pita warna-warni, kertas krep, dan pernak-pernik penghias panggung yang begitu kotor dan kumal. Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah-celah ventilasi yang berselimutkan debu tebal menahun. Berkas-berkas cahaya berhamburan ke seluruh ruangan dan menyinari sudut-sudut gelap tempat tinggall para tikus. Ruangan itu hanyalah sebuah bagian, bagian yang sangat kecil dari sebuah gedung pertunjukan tua kumuh yang akan segera dipugar dalam waktu dekat. Di sudut ruangan, tiga boneka besar seukuran manusia diletakkan. Disandarkan di lantai dalam posisi duduk. Letak mereka satu sama lain tidaklah begitu berjauhan. Mungkin begitulah posisi mereka sejak 10, 20 tahun atau pun mungkin lebih lama lain. Membeku tanpa bergeser sedikit pun. Berselimutkan debu, mereka tampak begitu kusam. Wajah mereka menunduk. Tangan tergolek di sisi tubuh. Begitu, dan akan selalu begitu dari waktu ke waktu. Waktu terus berlalu, sinar matahari yang tadinya masih bermurah hati menyinari gudang yang kotor dan kumuh itu pun mulai meredup, tampak begitu pelit untuk membagi cahaya. Rupanya sang surya telah siap kembali ke peraduannya. Dan meninggalkan ruang gelap sunyi dalam kehampaan. Kegelapan yang datang menciptakan bayang-bayang suram di dinding. Tiba-tiba, dengan sangat halus, seolah telah direncanakan lama sebelumnya, boneka satu menggelengkan kepalanya. Begitu pelan. Setitik debu terhentik. Digerakkan rahang atasnya yang seolah menempel karena terus terkatup sejak puluhan tahun lalu. Boneka lain pun mulai bergerak. Sesaat, kesunyian pecah. “Mengapa kita di sini?” Tanya boneka satu. Matanya yang dicat biru muda berputar menatap seluruh sudut ruangan. Seolah mencari jawaban. Rahangnya yang telah berkarat menimbulkan bunyi ngik, ngik yang membuat ngilu telinga setiap orang, setiap kali sepatah kata terluncur. Boneka satu mengenakan pakaian kebangsawanan—Prancis, sepertinya—yang telah robek disana sini. Dengan rambut pirang palsu yang tinggal sehelai-helai menggantung pasrah di puncak kepala kayunya. Penampilannya paling jelek diantara dua boneka lainnya. Bagian-bagian tubuhnya telah berkarat. Karena beberapa bagian tubuhnya tersusun dari besi. Kayu penyusun tubuhnya pun mulai rapuh. “Ya, mengapa? Mengapa?” Boneka 2 dan 3 menyahuti perkataannya. Mereka terjebak dalam tanya, dalam hampanya kebingungan. “Kita hanya boneka”, sahut boneka dua. Dia mengenakan gaun rimpel-rimpel yang sebagian telah dimakan ngengat. Kepalanya ditempeli rambut pirang palsu berlapis debu. Matanya yang bulat dicat biru muda. Seperti sosok Mary Antoinette yang bangkit dari kubur setelah ratusan tahun. Berbeda dengan boneka satu, rangka tubuhnya dibuat dari kayu berkualitas. Sehingga masih kelihatan bagus dan kuat, meski puluhan tahun telah berlalu. “Memangnya kenapa kalau hanya boneka?” gugat boneka tiga. Berbeda dengan kedua boneka lain, matanya berwarna coklat tua. Berpenampilan seperti wanita jawa pribumi dengan kebaya berenda bulukan dan sanggul yang menjulang bagai punuk unta. Sehelai selendang tipis yang telah berlubang di sana sini masih setia bertengger di puncak kepalanya. Apakah sihir waktu telah berlaku bagi boneka-boneka itu, dan menghidupkan mereka untuk menggugat layaknya manusia? “Kita tak punya hak bicara, bertanya. Hanya…, hanya manusia..”emosi dan kepedihan yang datar sekejap mewarnai suaranya “yang punya hak menggugat takdir Tuhan.” Boneka dua tertunduk. Bola matanya mendadak jernih. Tapi dia tak bisa, tak boleh menangis. Sebab ia hanya boneka. “Manusia juga tak punya hak menggugat takdir Tuhan!” kata-kata boneka satu yang diucapkan dengan keras mengejutkan teman-temannya.”Mereka hanya hamba. Mereka hanya boneka Tuhan. Tak jauh berbeda dengan kita.” Wajahnya menyiratkan emosi yang tajam. Hening menciut. Boneka-boneka lainnya terlalu takut untuk menjawab. Seekor laba-laba hitam mendarat di lantai semen yang beku. Mengalihkan perhatian sekejap. “Tak ada artinya semua dialog sunyi ini. Gedung ini akan segera rata dengan tanah. Hidup kita akan berakhir di tempat sampah. Lalu kobaran api angkuh akan melalap dan menyulap kita semua menjadi cuilan abu dan tumpukan karbon. Yang akan kita lakukan hanya mengisi sunyi. Semua telah ditetapkan…kita hanya bisa menanti.” Boneka dua mengeluarkan kata-katanya dengan mantap. Kepala kayunya menunduk pasrah. “TIDAK!!”histeris boneka ketiga. “Aku tidak mau berakhir dalam sunyi! Dalam hening yang menekan tiap jiwa! Aku ingin KEHIDUPAN!” kepala boneka tiga berputar liar. Dirinya yang berselimut debu ingin melupakan kodratnya. Bahwa ia hanyalah sesosok boneka. Hampa dan hening menyelubungi tiga boneka. Derum truk mendekat mengejutkan tiga boneka kayu. Kehadiran serombongan tamu di malam hari taklah begitu diharapkan. Tapi bagi boneka-boneka itu, siang dan malam apa bedanya? Toh mereka akan tetap disitu. Diam, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dan mereka kembali membeku dalam sunyi gudang. Waktu tak pernah berjalan dan berpihak bagi mereka. Sedikitpun tidak. Tak ada seorangpun, mungkin, yang akan menyadari kegaiban yang berlangsung sepersekian jam dalam gudang itu. Tak lama, sesosok tubuh tinggi besar melangkah memasuki ruang luas berkarpetkan debu. Sepatu bot ukuran 40 yang dipakainya meninggalkan jejak-jajak lumpur besar di lantai. Seorang lelaki brewokan. Ia mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Pandangannya menilai. layaknya mahadiraja yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang menentukan awal, dan akhir dari sesuatu. Pandangan yang congkak dan dipenuhi kepongahan. Beberapa laki-laki berseragam masuk dan mulai mengangkuti kardus-kardus berisi perlengkapan panggung. Segera saja ruang gudang yang luas ini menjadi legang dan kosong. Sedang pria penuh lagak tadi masih saja berdiri tegak. Ekor matanya mengawasi orang-orang yang sibuk memindah-mindahkan barang. Ketika kardus besar didepan para boneka diangkat, pandangannya seketika tertumbuk pada tiga sosok boneka yang tergeletak lunglai di lantai beku. Sementara para pengangkut barang tersebut keluar ruangan tanpa sedikit pun mengacuhkan kehadiran para boneka. “Jo!!!”suaranya yang keras menggelegar menggema dalam kesunyian gudang. Menghentikan aktivitas tikus-tikus yang berusaha bersembunyi dari tadi. Sesosok laki-laki tinggi dengan kaus usang bergegas berlari memasuki gudang. Langkahnya takut-takut ketika bertanya, “Ada apa tuan?” “Boneka apa itu di sudut?” Tanya laki-laki tinggi besar yang dipanggil tuan itu. “Setahu saya, dulu gedung ini adalah gedung pertunjukan—tuan tahu,tentunya—yang sering pentas dengan menggunakan boneka seukuran manusia. Boneka-boneka yang di sudut itu adalah boneka-boneka yang sering dipakai dalam pementasan. I…itu yang saya tahu tuan” dengan ragu laki-laki yang dipanggil Jo itu mengakhiri penjelasannya. “Hmmm…kelihatannya dua diantara mereka masih bagus. Mungkin bisa kita jual nanti. Tapi yang satu itu…” pandangannya berhenti pada boneka satu “…buang saja!” “Ya…baik tuan!” laki-laki itu bergerak sigap. Kelihatan dia agak kesulitan memikul boneka satu. Tapi dia berhasil juga memikul boneka satu dan menyeretnya keluar. Mata boneka satu berkilau. Lelaki brewokan dan pria itu tak menyadarinya. Tapi boneka dibelakangnya, menyimak dalam diam, laki-laki besar itu menyusul. Pintu berdebam dengan keras dibelakangnya. Samar, suara menggelegarnya menembus pintu. “Satukan boneka itu dengan sampah lainnya! Bakar saja diluar! Cepat! Besok kita harus kembali lagi untuk membereskan barang-barang yang bersisa!” suaranya semakin samar, mengiringi langkahnya yang juga semakin menjauh. Gudang tua ditinggalkan dalam sunyi dan luka yang diam. Boneka dua dan tiga terbenam dalam luka jiwa yang mereka ciptakan. Kesunyian gudang selamanya akan memenjarakan ‘jiwa’ mereka. Mereka, seolah dapat mendengar jeritan boneka satu, kengerian dan kesakitan, ketika kobaran api menghaguskan dan melumat kerangka kayunya. Dalam rasa dan indra yang seharusnya tidaklah ada dalam sesosok boneka, rasa panas api seolah menyelubungi dan melumat raga mereka. Dan selanjutnya mereka menjelma dalam wujud cuilan debu dan tumpukan arang. Adakah hak bagi mereka untuk protes? Untuk marah? “Memang,”boneka tiga mendesah “…kita hanya boneka. Tak ada…”geletar mewarnai suaranya. Tapi mungkinkah? “…jiwa yang mengisi diri. Ini hanya ilusi, ilusi yang menghampiri sejenak. Tapi mungkinkah? Mungkinkah mereka mendengar? Mungkinkah mereka tahu?” boneka tiga tenggelam dalam lautan keputusasaan dan kepedihan “…bisakah kita lepas dari kepedihan? Luka? Dan rasa sakit yang memenjarakan? Yang membuat kita sadar kita hanya boneka? Sedang manusia…takkan pernah sadar. Selamanya…mereka hanya boneka Tuhan…yang tak lebih tinggi—sedikit pun tidak—dari kita?”ratapnya. “Adakah jalan?” “Ada…mungkin ada.”lirih boneka dua. Boneka tiga terdiam. “Tapi mungkinkah asa tetap ada dalam jiwa? Apa yang kita dapat dari pemberontakan akan diri kita? Dari keinginan kita menjadi manusia seutuhnya?” boneka tiga berhenti,”…kepedihan dan rasa putus asa yang semakin membelenggu. “Apakah pinokio benar-benar ada? Mungkinkah boneka—yang hanya benda mati tak berjiwa—dapat menjelma manusia seutuhnya?”tanya pada hening. “Manusia,”sela boneka dua,”juga hanya boneka. Tapi mereka dapat protes, membangkang, bahkan menggugat Sang Pencipta,”mata boneka tiga berkilau,”…Mengapa kita tidak? MENGAPA?! Mengapa kita hanya bisa terpaku menatap dia dilalap oleh api? Mengapa kita tidak protes? Membangkang? Memberontak? Mengapa?” “Diamlah!”sentak boneka tiga.”Manusia juga tak dapat memberontak pada Sang Pencipta! Mereka hanya boneka-boneka yang bergerak dalam skenario Sang Pencipta. Karena itu boneka tolol, diamlah! Berhentilah menggugat! Berhentilah bertanya! Sadarilah kau hanya boneka!” Boneka dua terdiam, kehabisan kata-kata. Tanpa mereka sadari, ruangan itu semakin kelam, terselimuti warna malam. Kegelisahan yang mencekam seharusnya hadir. Bahkan tokek dan tikus yang biasanya selalu hadir untuk meramaikan suasana kali ini enggan untuk bersuara barang sedikit. “Biarlah…biarlah kegelisahan dan kecemasan meluluhlantakkan jiwa. Selamanya, boneka hanya boneka.”boneka tiga menatap hening.”Pinokio tetaplah boneka, walau dia telah menjadi manusia, dia tetap boneka. Hanya saja, kini dia digerakkan hanya oleh satu pencipta. Sang Pencipta. Namun dia tetap boneka. Hanya boneka…” “Pinokio diciptakan oleh Gepetto. Apa lantas Pinokio dikendalikan sepenuhnya oleh Gepetto?” “Tidak, karena Gepetto pun hanya boneka. Yang merakit Pinokio atas skenario Sang Pencipta. Tidakkah kau lihat?” “Ya, lalu biarkanlah raga kita menjelma Pinokio. Bisakah?” “Kau terlalu banyak bertanya, terlalu lancang. Sebagai boneka atau apa pun, kau tidak pantas memiliki jiwa seutuhnya!” “Aku hanya ingin tahu. Ingin melihat apa yang bisa kulihat. Jika aku hanya boneka, bukankah kau tidak berbeda? Juga laki-laki brewokan dan orang-orang yang mengosongkan rumah kita ini?” “Benar, baiklah bila begitu maumu. Katakanlah dan tanyakanlah apa lagi yang ingin kau ketahui. Aku telah lelah dengan dialog kosong ini. Tengah malam segera menjelang dan selanjutnya fajar akan datang membawa kita pada takdir baru.” “Katakan padaku, bagaimana cara kita melepaskan diri dari sunyi yang membelenggu. Dimana jiwa yang seharusnya bukan milik kita hadir tanpa diminta?” “Bakar jiwa itu, buanglah dan lemparkan jauh-jauh dalam kediaman ruang dan kegelapan fana. Waktu kita telah habis…” Entah dimana…jam berdentang dua belas kali. Boneka dua dan tiga menunduk. Kembali ke posisi semula. Posisi yang telah mereka tempati 10, 20 tahun lalu atau mungkin lebih lama lagi. Mungkin mereka takkan disitu selamanya. Tapi mereka akan diam dan membeku—kembali—selamanya. Begitu, dan akan selalu begitu. Mungkin dialog usang mereka hanya akan tersimpan sebagai satu dongeng tentang gedung tua yang akan segera dipugar…

1 comments:

Liza Marthoenis said...

aku suka,cukup bagus kok.kamu jangan nyerah ya. trus menulis!