Hal-hal yang Tekadang Luput


Suatu hari, saya sedang duduk di sebuah kursi, di dalam kamar saya yang sempit. Membuka halaman demi halaman digital, dan tekun mengerjakan seabrek tugas keorganisasian. Saat itu hanya selintas, hati saya tergelitik: Benarkah pekerjaan ini sesuai untuk saya? Apakah saya ingin perkerjaan ini kelak, selepas kuliah dan saat hidup semakin mandiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin bermunculan. Dan di depan layar komputer yang terus berkedip, saya merasakan pertanyaan itu terus bergelombang menghantam pikiran saya: Bagaimana dengan remaja yang lain? Apakah hanya saya yang hidup dengan kegelisahan ini?Dan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah terhenti dengan mudah. Masa depan serasa semakin menyesakkan dan tidak pasti.

Saya menghitung usia saya. Ah, bulan depan usia saya genap 19 tahun. Bukankah usia ini adalah usia rasionalitas? Dimana mimpi dianggap tidak relevan, dan saya juga merasakan ketidakrelevanan hidup.

Saya seolah dapat melihat diri saya dimasa depan dari jendela rumah seorang tetangga. Saya dimasa depan, hanya seorang ibu rumah tangga dengan daster dan rambut disanggul yang acak-acakan. Bergelut dengan balita yang rewel dan tugas rumah tangga yang tak habis-habisnya. Tak ada gairah hidup di sana. Tak ada lagi keinginan untuk mencetak generasi muda tangguh dalam memperjuangkan Islam. Tak ada lagi istilah jihad. Yang ada hanya kepenatan dan beban yang terus menuakan saya dari hari ke hari.

Bagaikan Ikal kecil yang melihat dirinya dari jendela warung mie rebus, saya pun begitu. Hanya saja bayangan itu terasa lebih suram. Tak ada lagi eksistensi diri sebagai muslim yang ingin ditegakkan, yang saya punya hanyalah usia yang terus bertambah dan budaya yang membelenggu tiap langkah kaki untuk terus mencari jodoh dan hidup hanya untuk menikah dan beranak.Renungan di Ramadhan ini begitu pahit. Lalu saya ingat, bahkan di hari ke-9 puasa ini, saya masih belum luput dari hitungan dua juz.Astaghfirullah...

0 comments: