Remaja berprestasi? Mungkin lebih tepat mengaitkan istilah remaja berprestasi dengan RemPaTuH (Remaja Punya Tujuan Hidup). Kenapa? Mungkin karena tujuan hidup itu memang tidak pernah jauh dari keinginan untuk berbuat. Tujuan hidup adalah motivasi. Motivasi yang paling besar yang dapat dimiliki oleh seorang remaja yang masih sangat hijau, biasanya berkisar pada dua kata besar: eksistensi diri.
Ya, RemPatuh biasanya hanyalah remaja-remaja gelisah yang ingin menemukan eksistensi diri mereka dengan acuan moral yang telah mereka miliki. Saya cenderung berpendapat bahwa RemPaTuh itu sebagian besar bukanlah remaja yang ‘normal’. Karena istilah normal memang bukan untuk remaja. Jika Lupus dikatakan bukan remaja normal, maka siapa yang dapat dikatan sebagai remaja normal? Bahkan ejekan untuk remaja-remaja yang selalu siaga 1 dengan bukunya selalu lantang terdengar. Normalkah itu?
Sebagaimana istilah RemPaTuh, mereka juga memiliki suatu rem yang membuat mereka bersedia patuh. Rem itu dikenal dengan nama fitrah dan lingkungan. Fitrah yang memang sudah dimiliki sejak lahir benar-benar sebuah rem yang sangat bagus untuk mencetak remaja-remaja. Ibarat pensil, fitrah hanya perlu terus menerus ‘diruncingkan’ biar tidak tumpul. Sedang lingkungan... bahkan anak kembar pun punya perbedaan dalam prestasi hidup jika dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda.
Kembali ke masalah tujuan hidup. Banyak remaja yang cenderung terlalu kaku dalam memilih tujuan hidup. Mereka menganggap bahwa tujuan hidup adalah sebuah harga mati. Sekali A tetap A. Mustahil B karena A bukan B. Benar, tapi tujuan hidup yang terlalu kaku, terkadang malah membuat remaja menjadi sosok yang sangat labil sehingga ketika gerak tujuan hidup yang telah dicanangkan mencapat titik ‘0’ alias ‘mission impossible’, mereka jadi frustasi. Maka hilanglah sosok RemPaTuH itu.
Sedangkan remaja yang tujuan hidupnya terus berubah, ibarat petani yang sibuk mengganti tanamannya. Hari ini ia melihat harga cabe mahal, maka ia menanam cabe. Besoknya harga cabe jatuh dan harga tomat melambung, maka ia menanam tomat. Begitu seterusnya. Tak ada konsistensi. Maka apa yang akan terjadi pada si petani? Tentu tidak sulit untuk ditebak.
Tujuan hidup juga merupakan pilihan. Dan kebanyakan remaja mengidentikkan pilihan tujuan hidup itu dengan pilihan pekerjaan! Benarkah demikian? Kalau begitu mari kita mendengarkan sebuah kisah terlebih dahulu untuk selingan. Saya yakin banyak hikmah dari cerita ini yang akan sedikit membantu.
***
Cerita Bung Andi (dikutip dari milis)
Banyak yang bertanya mengapa saya (Andi F. Noya) mengundurkan diri
sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk
meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena
pecah kongs dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan
dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi
yang tinggi, dengan power yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah
stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang
beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri
beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa
mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan didalam kolam.
Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan
tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja,
sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV.
Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My
Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua
kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat
mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan
kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap
mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu
yakin sampai kiamatpun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat
lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh
seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu
tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka
dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju
yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan
menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu
siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna
menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak
mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan
mati digilas waktu. Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada
dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah
yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar
dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap
hari keju itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti
lentera jiwa saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin
berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan
yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati
saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak
orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang
yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang
kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan
jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya
ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat.
Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan
ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa
hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia. Ketika diminta untuk
menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak
mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang.
Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang
jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga)
atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak
mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka
tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus
2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan
besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan
lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil
keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak
memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan
menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di
televisi dan kini memiliki restoran sendiri. Saya sangat bahagia
dengan apa yang saya kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal, orangtuanya
menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat
beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah
animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta
mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak
sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan.
Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan
bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam
kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak
yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja dibidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti
rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo, salah
satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling
Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji.
Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon
mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. Semua
karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya.Cinta
saya. Hidup saya, katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah
berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
Yang sangat indah yang dapat saya tangkap adalah satu kalimat yang serasa berdentang dentang dalam jiwa: "Jika tujuan hidup adalah bekerja, maka tujuan hidup itu sendiri bukanlah sebuah tujuan."
Tidaklah salah memilih pekerjaan sebagai tujuan hidup, tapi bukankah seperti bung Andi, kita dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan tujuan hidup kita? Mungkin untuk para RemPaTuH, hal ini sudah dapat terbayang di depan mata dengan jelas, sejelas awan mendung.
0 comments:
Post a Comment