Mungkin kalau dia tidak bicara seperti itu, aku tidak akan ingat,
"Lupakan..." lalu kuturuti. aku melupakan, meski tidak sepenuhnya. hanya hatiku tidak mau memaafkan.Belum...
***
"De, memaafkan bukan berarti melupakan." satu nasihat yang berbeda saat kami duduk di atas bebatuan, menatapi batas laut sambil merasai air laut menjilat kaki hingga ke betis.
Aku menatapnya."bukankah forgiving is forgetting?"
Dia menggeleng,"Tidak selalu. Bahkan melupakan tidak berarti memaafkan."
Aku tertunduk, mengapa begitu sulit?
"Menurutmu, aku bisa?"
Dia menatapku, dalam hingga menyelami rasa ,dan dia hanya menyatakan satu kalimat yang membuat ombak yang menari-nari membasahi rok kami menenggelamkan hatiku,"Kamu pasti bisa De. jutaan orang bisa,kenapa kamu enggak? bahkan, kamu telah berhasil melewati semuanya sejauh ini."
"Menurutmu aku harus?"
Dia tidak segera menjawab, hanya merapikan roknya yang berantakan tertiup angin laut,"Tentu saja kamu harus de.Semua orang juga harus. Hanya saja, keharusan itu untuk dirimu, bukan untuk siapapun. Bahkan bukan untuk orang yang kamu benci. Itu untuk dirimu: ketenangan, dan kebahagiaanmu sendiri."
Aku menatapinya, dia, yang selalu membuatku salut dengan kemampuannya melewati badai. Bahkan sejak kami SMA, dia masih yang terbaik dengan ketenangan dan ketabahannya. Dia adalah sumber telagaku.
"Lalu kamu, akan kemana?"
Dia menjawab mantap, seolah kalimat itu telah lama menunggu untuk dimuntahkan, "Aku akan menikah De. Akhirnya, aku bisa bebas."
Kutatapi dia, tak mampu menyiratkan apapun;takjub. Usia kami sama. dan bahkan saat aku masih bergelut dengan kekonyolan-kekonyolan seorang remaja di usia menjelang 20, dia telah siap menutup lembar kesendirian dengan seorang pangeran di sisi. kutatap dia lebih teliti, tak ada keraguan dan kecemasan di bola matanya.
"Bagaimana kamu bisa begitu siap?"
Dia tersenyum, merapikan helai-helai rambut yang melompat-lompat dari balik kerudungnya."Ade, kamu tidak akan mengerti. Karena situasi kita berbeda. jika kamu di posisiku, kamu akan mengerti." Dia terdiam, "aku ingin bebas..."
Aku tersenyum. Kembali, kami menatapi ombak yang kian mengganas di penghujung siang. meski hatiku masih tergelitik dengan beragam hal, tapi hanya dengan kehadiran seorang sahabat yang dipersatukan dengan doa, membersamai dzikir ombak, semuanya menjadi bening. mengaminkan harapannya diam-diam. Allah...bebaskan dia.
aku merasai mataku hangat, meski bukan bermakna sedih. tapi lega yang tak bertepi
Akhirnya, aku siap memaafkan...
*Kenangan di Pantai uleelhe itu, bahkan aku tidak perlu kamera untuk mengabadikannya. Moga berbahagia, sahabat. Barakallah...
0 comments:
Post a Comment