Berpikir di luar Konteks

Waktu sakit,mungkin itu adalah waktu terbaik untuk berpikir di luar konteks.
Kenapa harus berpikir di luar konteks? Sebab dalam keseharian,seringkali kita hanya berpusat pada satu hal, satu titik saja.

Sebagian orang menamainya fokus,saya menamainya BOSAN.

Tidakkah menatap pada titik yg sama itu sangat membosankn? Saya setuju pd fokus,tapi tdk setuju pada rutinitas di masalah yang itu2 saja. Kenapa? Sebab rutinitas belaka tanpa eksplorasi menjadikan pikiran seseorang mandek. Buntu.

Hidup 20 tahun bukanlah hidup dgn pengalaman 20 tahun,tapi hidup dgn pengalaman 13 tahun yg d'ulang2. Kenapa 13? Karena asumsi saya manusia pada usia 12 tahun masih bersikap seperti kanak2,dgn eksploriasi yg luas pada hidup.

Maka kali ini,topik diluar konteks yg ingin saya tuliskan adalah masalah kecil yg dibesar2kan, SARA.
***
"Pilih siapa?"
"Si R de.kamu?"
"B.knp pilih R?"
"Sebab si R org Aceh.ngapain plh B?qt kan organisasi di Aceh,hrs d'pimpin org Aceh jg."

Saya menunduk,merenung. Iya ya.. Mungkin harusnya seperti itu..

Tapi pikiran tdk mau diam.

Kenapa harus seperti itu ya? Kan semua orang jg tau kinerja dan ide B lbh bagus. Bukan berarti R tdk bagus. 80:90 jk dibandingkan. Tapi nilai R naik karena dia orang Aceh.

Ya,karena dia orang Aceh, sdng B tdk bersuku Aceh.

Saya jadi teringat masa silam. Ketika kecil, saya benci dgn semua org jawa. Yg dmksd jawa ini adalh non aceh. Karena saya belum mengerti ada suku padang, batak, dll. Maka selain aceh semua saya cap "jawa".

Kenapa?

Jika ditanya, saya jg tdk begitu ingat. Yang saya tahu, dalam benak saya wkt kecil, semua orang Jawa itu serakah. Mereka masuk ke tanah Aceh dan merampas tanah, harta kekayaan, dan penghidpn rakyat Aceh. Saya ingat samar2 saudara2 saya jika berkumpul waktu lebaran akan membicarakan tentang tentara jawa yg membunuh tengku ini, orang jawa yg merampas tanah ayawa di kampung, dll..

Saking bencinya dgn orang jawa atw non aceh, jk dulu saya naik angkutan umum,saya akan memastikan tdk ada org non aceh di dlmnya. Jika ada, lbh baik tdk usah naik. Jk terlanjr naik dan sadar ada org non Aceh dlm angkutan umum tsb,saya akan memalingkan wajah dan tdk menyahuti jk org itu mengajak ngobrol.

Ketika kuliah, lingkungan saya tdk lagi homogen. Saya berjumpa dgn org dari berbagai suku, bahkan agama. Jika saya harus menghindari mereka, maka seolah saya menghindari separuh angkatan.

Firman Allah dalam Al-Hujurat ayat 13 belum juga (dan tdk akan pernah) berubah. Telah beberapa kali saya membacanya,tapi saat berada dalam heterogenitas ini maknanya mulai saya pahami.

Keburukan bukanlah milik satu ras atau satu suku. Apakah semua org Aceh baik? Belum tentu. Bibit unggulan? Tidak jg.

Sekarang isu SARA (kecuali agama) bagi saya sudah basi. Kbnykn sahabat saya di kampus malahan bukan orang aceh. Ada orang jawa, medan, padang, dll. Di semua organisasi yang saya ikuti juga selalu ada beragam suku, kecuali FLP mungkin, yang hampir 100% orang aceh.

Tapi, mendengar jawaban dari teman saya yang tadi, yg rupanya belakangan saya dgr hmpr di semua organisasi yg saya masuki, ah... Sedih.

SARA belum basi rupanya.

0 comments: