Dia yang Bagai Nada

Dia hanya berupa nada. Hanya nada, sungguh! Serangkaian nada yang melintasi tulang-tulang pendengaran dalam suatu waktu. Seperti yang lain. Hanya saja, tidak banyak yang tahu bahwa ia tidak seperti yang lain.

Sektor Timur. Simpang Galon. Lamnyong. Jalan Teungku Nyak Arief terus hingga mencapai Mesjid Baiturrahman. Hanya itu sekilas peta hidupku di dunia nyata. Google. Email. Twitter. Facebook. Blog. Sejauh inilah pelarian hidupku di dunia maya. Datar. Samar.

Hingga ia datang dan menjadikannya berbeda.

Dia yang senantiasa hadir di kotak kecil pada sudut dunia mayaku, juga di sudut kota kecil ini, telah menjadi nada yang tidak sekedar naik ke otak, tapi juga berbelok ke ruang kecil bernama hati.

Aku tidak perlu memikirkan bibirnya yang bertindik, matanya yang gelap hampa, bahkan sumpahnya untuk mengacuhkan Tuhan hingga Tuhan memperhatikannya. Yang perlu kulihat hanya wajahnya yang tegas membayangi kornea, lalu sederet kecil bayangnya di kanan bawah layar komputerku. Orang itu, selalu hanya sebatas itu. Sebagaimana lagu yang mengalun sejenak lalu berhenti, ia juga seumpama itu. Ia juga burung. Juga ombak. Tak mungkin menahannya. Tak mungkin mengurungnya di satu ruang kecil. Karena ia akan selalu kembali ke laut. Ia akan selalu kembali terbang.

Jangan salah memikirkan tentang dia. Dia bukan pelaut yang mengiringi lautan dan benua tiap musim. Dia bukan pilot yang mengangkasa dengan burung besi tak berkepak. Dia hanya orang biasa dengan jiwa yang begitu bebas. Tak ada yang mengingkari kebebasannya. Seperti ombak, jika diciduk ia hanya air bercampur garam dan pasir.

Kekuatannya adalah kebebasannya. Kemampuan untuk tidak terikat pada peraturan. Sesederhana itu.

Orang itu... kuinsyafi sepenuh hati bukan untuk dimiliki. Kadang aku bisa dengan santai mengajaknya membicarakan pengampunan dosa dan penyucian diri. Seringkali, ia hanya menanggapi perintah Tuhan dan kebijaksanaan dengan bahasa penolakan.

Dulu, aku pernah ingin menenangkannya. Seolah melawan ombak, menekan tombol stop pada lagu yang diputar, atau menarik sayap burung yang tengah terbang tinggi.

Hingga titik ini... aku berhenti.

Berhenti kumaknai bukan menyerah.

Hanya saja kini aku sadar bahwa tidak ada guna mendiamkan ombak, mengheningkan nada, atau mencoba memaksa burung terbang merapati bumi.

Karena waktu jua yang akan membawa mereka pada akhir.

Sebagaimana dulu aku menangkapnya sebagai nada, kini aku ingin melepasnya sebagai nada juga. Jika aku pernah merasainya bagai ombak, maka aku ingin merasainya merayap pergi laiknya gelombang.Saat penglihatanku terarah ke langit, aku tetap bisa melihatnya mengangkasa. Semoga ia tidak menyentuh matahari, lalu mati.

Setelah tahun-tahun panjang, ia kembali pergi.

Pandangan, pendengaran, dan perabaku mulai menjelajah lagi..
Rupanya laut ini masih indah.
Debur kehidupan masih bergemuruh tanpa riuh.
Matahari masih menyengat.

Aku kembali bebas, sebebas-bebasnya.

*Ujong Batee, 3 Juli 2010

Saat rihlah FLP, saya mendapatkan kata ... (coba tebak:)) dan saya diminta menulis dengan kata inspiratif itu. Sayang pikiran yang tengah tercandui dengan aroma garam dan bunyi ombak tidak mampu menembus makna terdalam dari kata ajaib itu. Maka ditemani ombak yang setia menjilati kaki, saya mulai menulis tentang karakter ini, seorang tokoh Tuan tak bernama, dari embrio novel pertama yang tak pernah benar-benar hidup:)

Sebab saya lalai menjaganya tetap bernyawa

0 comments: