"Aku tidak perlu Ayah lagi, usiaku sudah 30 tahun dan aku sudah tahu segalanya."
"Nak," Tampang lelaki berusia 60 tahun-an itu melemas, kakinya mulai bergetar. "Tapi aku ayahmu."
"Mengapa baru sekarang jadi Ayah? Kemana selama 25 tahun ini? Aku hidup tanpa Ayah dan aku baik-baik saja!"
Air mata mulai tumpah, laki-laki itu sesenggukan. Tidak dipedulikannya orang sekitar yang menatap heran. Gadis di depannya masih memandangnya penuh bara.
"Aku pergi."
Hingga sosok gadis itu berlalu, lelaki itu masih menangis. Tak dipedulikannya air mata lelaki yang terlalu mahal. Sebab ia ingin menyesal, sebab ia ingin kembali ke waktu gadis itu masih bisa dibuainya dalam dekapan, juga waktu gadis itu masih menggenggam tangannya untuk naik ke atas vespa mereka.
***
Gadis itu melenguh, tangannya dingin. Berkali-kali ia memaki dirinya dalam hati. Apa arti sejuta pengajian yang telah diikutinya sejak SMA? Apa arti kajian yang telah dibinanya? Apa arti dakwah yang dilakoninya? Dan segala hal yang mengikutinya?
digenggamnya lengan bajunya keras. Matanya menatap ke arah tas yang sedari tadi disandangnya, menembus ke dalam, ke arah kertas merah hati yang terlipat manis di dalamnya.
"Aku telah lama menantimu. Maukah engkau jika kita segera menikah? Temui ayahmu, maafkan ia dan mintalah ia jadi wali nikahmu."
Air mata itu luruh, terus hingga sore menjelang.
0 comments:
Post a Comment