Sederhana... Sederhanakan saja persoalan itu!
Buku kesukaan saya adalah How to Simplify Your Life...
Saya suka bahasa yang sederhana, bermimpi memiliki hidup yang sederhana, dan mencoba tampil sesederhana mungkin.
Karena itu, hidup saya selalu berpindah dari belakang panggung yang satu ke belakang panggung yang lain.
Indah, saya menikmatinya.
Kawan, tahukah engkau nikmatnya berada di belakang panggung?
Itu adalah kenikmatan menatap semua aktor dan aktris di atas panggung, dengan begitu dekatnya. Sekaligus bisa mendengar gumam bergairah penonton, lalu tepuk tangan riuh. Tanpa takut tersandung, bermain jelek, mendapatkan cemoohan...
Begitu sederhana,
Begitu tenang...
Sekarang, kesederhanaan itu terusik. Saya harus muncul di depan mata-mata yang menatap, harus menerima tanya, harus menerima pujian....
Sangat rumit,
amat melelahkan...
"Kamu aneh!"
Kenapa?
"Setiap orang suka tampil di depan umum, suka terkenal. Tapi kamu?"
Aku hanya tersenyum, lelah.
Aku orang yang sederhana, aku benci kerumitan!
"Tidak, kamu orang yang rumit, De! Kamu sulit dimengerti!"
Lalu aku memandangnya menjauh.
Beku...
Aku suka kesederhanaan.
Suka, sekali...
***
Betapa sulitnya terbang, jika terus seperti ini.
Bahkan hening pun tidak menjelajahi ruang hampa ini...
Haruskah melepas semua kebahagiaan ini?
Melepas kenikmatan tampil di belakang layar?
Saya teringat kembali masa-masa indah, saat tanpa memikirkan apapun saya akan naik kendaraan umum, pergi ke pusat kota. Lalu menempuh rute wajib: toko buku-Mesjid Baiturrahman-terminal.
Tidak memikirkan apapun.
Tidak ada telepon masuk, atau dentang SMS.
Saya hanya tinggal menyusuri jalan, melihat keunikan manusia, mengitari toko buku selama hampir 2 jam lalu membeli 1-2 buku yang paling menantang intelektualitas saya, berbicara dengan tukang becak,supir, pengemis, orang yang tak dikenal di jalan-jalan, tukang sapu,penunggu kios,... Lalu membeli makanan atau sebotol minuman dan duduk di trotoar sambil mengamati tingkah polah manusia yang lebih lucu dari ulah Aming di Extravaganza, sambil mendengar debat seru hati vs otak. Setelah puas dan lelah, saya akan duduk di dalam mesjid termegah di Banda Aceh, mengitari perpustakaannya, membaca tafsir-tafsir, mencari buku tentang Palestina,membaca buku yang saya bawa, atau sekedar tilawah menanti Ashar.
Mencari jalan-jalan yang panjang sekedar untuk melatih kekuatan otot kaki, berpikir tentang manusia, tersenyum simpul bahkan terbahak melihat atraksi tukang obat, lalu pulang dengan labi-labi setelah sore menjelma dan kaki terlalu pegal. Jika belum pegal, saya akan berjalan kaki, sejauh yang saya bisa untuk melihat begitu banyak hal.
Sendiri saja.
(Bukan, bukan saya orang yang tidak suka berteman. Kawan, cobalah sekali-kali. Kesendirian itu adalah bagian paling menyenangkan dalam hidup).
Saya hanya merasakan kesendirian sebagai teman yang paling tidak mengecewakan, itu saja. Dia tidak berharap, tidak bertanya, tidak menuntut, dan selalu mengerti tentang kebebasan yang saya inginkan.
Pada akhirnya, saya hidup.
Nah, momen indah tadi telah berlalu. Begitu sedikit waktu untuk semuanya, begitu banyak pekerjaan yang menanti.
Begitu banyak yang berubah.
Perjalanan itu, lebih tepatnya menjadi perjalanan spiritual bagi saya.
Sebab saya bisa menyaksikan betapa negeri, tanah yang sangat saya cintai setelah Palestina ini mulai remuk redam ditelan arus kapitalisme.
Menjadi orang di belakang panggung, memudahkan saya menjalani kebebasan sebebas-bebasnya.
Karena, bukankah Islam datang untuk membebaskan manusia?
MAka saya memutuskan mengambil kebebasan ini.
Kini, saya kembali terbelenggu.
Ah, sedih...
Entah kapan saya bisa melakukan perjalanan itu lagi.
Meraih kebebasan yang samar...
Saat saya ingin memposting tulisan ini, tiba-tiba saya terkenang kata-kata ibu saya,
"Kamu itu Nak, kalau kaki kamu tidak ditahan, kamu akan terbang..."
Boleh biarkan aku terbang?
*lagi-lagi, mengenang yang telah berlalu. Tapi saya harus segera melakukan perjalanan itu, sungguh! Atau saya lemparkan saja Hp saya ke laut? Agar tak ada lagi pengingat aktivitas apapun
0 comments:
Post a Comment