CAtatan Perjalanan Sang Atheis

Aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Mengapa? Pertanyaan basi menurutku. Bukan Tuhan pada agama Kristen, Hindu, Budha apalagi Islam. Aku memang tidak percaya pada Tuhan. Khayalan orang-orang bodoh menurutku. Aku tahu, naïf untuk mengatakan 90% orang didunia adalah bodoh dan pengkhayal. Tapi itu adalah pendapatku. Dan Indonesia adalah Negara demokratis yang menjunjung kebebasan beragama. Bukankah begitu? *** Perkenalkan, namaku Jean Mary Williams. Gadis blasteran Belanda-Indonesia modis berambut pirang, 21 tahun. Seorang jurnalis warta kota di Den Haag yang sedang mengalami penanjakan karir. Aku sedang mengunjungi Aceh, sebuah kampung tropis religius di ujung Sumatra, salah satu pulau di Indonesia untuk meliput aktivitas dan kebudayaan masyarakatnya. Kurasa tugas ini sedikit banyak berhubungan dengan gerakan dan isu terorisme di Aceh. Ini adalah tugas yang akhirnya berhasil kudapatkan melalui persaingan ketat dengan jurnalis lainnya. Tapi, akhirnya aku yang keluar sebagai pemenang. Bukan sesuatu yang sangat menyenangkan buatku, sebenarnya. Tak ada AC, jalanan yang dipenuhi kotoran sapi dan hewan ternak lainnya, gunungan sampah yang menguarkan aroma tidak sedap, orang-orang primitif yang terkagum-kagum dengan pendatang berambut pirang… Sungguh kampungan. Namun ini adalah petualangan hebat buatku yang selama ini hanya meliput di sekitar kota Den Haag. Berita-berita kecil yang ditempatkan sekilas di sudut. Namun laporan perjalananku ke Aceh ini akan dimuat secara eksklusif. Kesempatan dan peluang penanjakan karir yang benar-benar indah buatku. Hmm… untuk sukses memang seseorang tidak memerlukan ‘Tuhan’. Aku memejamkan mata. Perjalanan ke Banda Aceh siang tadi benar-benar melelahkan. Besok petualangan peliputanku akan dimulai. Kubuka agenda hitamku. Disana tersusun jadwal perjalanan yang telah disusun oleh guide-ku. Baiturrahman mosque… *** KAWASAN WAJIB BERBUSANA MUSLIM Uh, apa-apaan ini? Aku menggerutu kesal. Bagaimana aku bisa masuk? Menyesal aku tidak mengajak guide-ku tadi. Kurasa dia pasti mengerti bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Kulayangkan pandangan ke pelataran mesjid Baiturrahman. Hey, apa seperti itu busana muslim di Aceh? Cibirku kesal. Cewek-cewek bercelana jins ketat dengan jilbab yang diikat ke leher hingga menampakkan dada. Aku bukan seorang muslim memang. Tapi pengalaman peliputanku tentang kehidupan muslim Den Haag dua tahun silam telah memberiku sedikit pengetahuan. Para muslimah di Den Haag umumnya memakai jubah-jubah lebar dengan kerudung panjang. Dan bagiku seperti itulah standarisasi busana muslimah. Walau aku tidak mempercayai Tuhan, aku benci orang yang mempermainkan agama. Tapi disini? Ah…aku mengibaskan kepala. Saat ini tampaknya memang mustahil bagiku untuk memasuki Mesjid Baiturrahman. Tapi…kuangkat tustelku. Jepret…jepret..,belasan momen di sekitar Mesjid Baiturrahman berhasil kuabadikan. Yap! Tampaknya cukup untuk sementara. Sisanya akan kutanyakan pada Ayu Rizki, penerjemah sekaligus guide-ku. Memang aku cukup menguasai bahasa Indonesia dan cukup berani untuk bertualang sendiri. Tapi bertualang di kota kecil dengan kondisi keamanan yang kacau tanpa guide memang suatu pilihan yang buruk. Selanjutnya, Pasar Aceh menjadi pilihanku. Puluhan bahkan ratusan manusia berjubel, larut dalam kesibukan aktivitas jual beli. Kulempar selembar ribuan pada seorang pengemis tua yang berjongkok di pelataran toko. Pengemis itu tersenyum dan mengangguk senang. Kuangkat tustelku…jepret…dia tampak kaget. Aku tertawa kecil dan segera berlalu. Siang ini aku benar-benar sibuk mengabadikan berbagai momen. Sampah buah-buahan yang telah membusuk di sudut pasar, seorang bapak yang bertengkar dengan penjual mainan…it’s exciting! Adegan-adegan yang begitu biasa kuabadikan dengan luar biasa. *** Allahu akbar Allahu akbar! Aku tersentak! Kulirik Seiko yang setia melingkari pergelangan tanganku. 12.45. Waktu Dhuhur bagi umat Islam. Aku mendapat gagasan. Kurasa ini kesempatan untuk mengabadikan momen peribadatan masyarakat Aceh. Kuraih ranselku dan bergegas memanggil taksi. Sebuah mesjid di wilayah Lamteumen mejadi pilihanku. Kurasa untuk mendapatkan gambar-gambar hebat aku tidak harus memotret di mesjid Baiturrahman. Sesampaiku di Lamteumen aku berhasil menemukan mesjidnya dengan sedikit bertanya-tanya pada penduduk sekitar. Tapi apa yang kulihat? Shaf mesjid hanya terisi separuhnya. Aneh! Padahal berita yang kudengar Aceh adalah daerah paling religius di Indonesia. Meski dengan rasa penasaran kutekan juga tobol tustelku. Jepret! Hari ini, segulung rol film telah kuhabiskan. Rencana besok…Pantai Ulelee. *** Hari ini aku bangun lebih awal. Ayu Rizki telah menyiapkan mobil sewa seperti permintaanku kemarin. Bepergian ke pantai dengan taksi bukanlah pilihan yang terbaik buatku. Karena selain ke Pantai Ulelee hari ini jadwalku telah dipenuhi beragam rencana-rencana untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Banda Aceh. Besok atau paling lambat lusa aku sudah harus sudah meninggalkan Banda Aceh untuk mengunjungi daerah-daerah lain. Pagi di Ulelee benar-benar menyegarkan. Meski sampah-sampah yang berserakan disegenap penjuru pantai menimbulkan kesan jorok dan kumuh, namun aku tidak begitu mempedulikannya. Yap! Sebagai seorang jurnalis aku harus professional. Jepretan kameraku kembali mengabadikan aktifitas bocah-bocah cilik yang tengah bermain air dengan gembira. Kuhembuskan nafas sekuat-kuatnya, melepaskan rasa lelah yang kurasakan beberapa hari ini. Pengunjung pun mulai semakin banyak berdatangan. Sebagian menatapku dengan penuh minat. Aku melempar senyum sekilas. Sebagai basa-basi belaka. Bagaimanapun aku orang asing disini. Setelah menghabiskan lebih dari dua belas frame aku merasa lebih santai. Aku menepi dan duduk di atas pasir. Tak kuhiraukan bulir-bulir pasir mengotori jeans levi’s kesayanganku. Percakapanku dengan Ayu Rizki semalam meninggalkan kesan yang kuat dalam benakku. Tentang krisis kebudayaan dan moral yang menimpa masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh yang semula menganut paham religius yang kuat kini telah kehilangan identitas dan berkiblat pada budaya Barat yang begitu ‘menarik’ buat mereka. Bukan ini berita yang kucari sebenarnya. Namun meski aku seorang atheis yang sekuler, aku menghargai setiap agama dan para pemeluknya. Dan fakta ini membuatku agak kecewa. Tiba-tiba guncangan yang agak kuat mengembalikan kesadaranku. Aku tersentak dan segera bangkit. Kulihat para pengunjung keluar dari air dengan panik. Mereka menepi dan bergerak ke pinggir pantai. Aku mengikuti mereka. Belum pernah kurasakan gempa seperti ini. Firasat buruk menyergapku tiba-tiba. Guncangan terasa sangat kuat. Aku memejamkan mata dan menunggu. Orang-orang di sekelilingku melafalkan kalimat-kalimat yang tak kumengerti. Perasaan mual dan pusing mulai menyergapku, dan tiba-tiba, semua berhenti. Serentak semua orang di sekelilingku menghembuskan nafas lega, dan ribut mengomentari peristiwa barusan. Aku bergerak ke pinggir pantai untuk mengambil kameraku yang tertinggal ketika aku terburu-terburu lari tadi. Nah…itu dia. Aku menghembuskan nafas lega dan mengangkatnya. Kuarahkan kameraku ke arah laut. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang salah. Air laut menyurut… ikan-ikan besar dan terumbu karang menampakkan diri. Apa ini? Kepanikanku bertambah melihat masyarakat berlari ke arah laut dan sibuk memilih ikan. Hentikan! Ingin aku berteriak. Namun bibirku terkunci, kakiku seolah beku. Kepanikan dan ketakutan mencengkram jantungku. Lari Mary! Seolah dikomando oleh seseorang aku bergerak menjauh dari bibir pantai. Bayangan hitam disertai dengan gemuruh dahsyat menutupi bayanganku. Tanpa menoleh aku berlari sekuat tenaga. Teriakan panik dan ketakutan bergaung di telingaku. Lari! Jangan menoleh! Lari! Aku menjerit dalam hati. Puluhan orang berlari ketakutan. Jeritan ketakutan hanya terdengar sepersekian detik sebelum gelombang itu menghantam kami. Aku terdorong oleh kekuatan raksasa. Tidak! Aku menjerit dalam hati. Aku tidak mau mati! Air ini begitu pekat, aku tidak bisa bernafas. Berbagai benda-benda asing mencabik tubuhku. Paru-paruku sesak. Aku…kesadaranku terbang. *** Aku terbatuk-batuk. Mataku sangat berat. Apakah…aku masih hidup? Kubuka mataku perlahan. Penglihatanku kabur. Kupaksakan untuk bangkit. Sekujur tubuhku sakit dan perih. Potongan kayu yang cukup besar menembus daging lenganku. Kupaksakan diri untuk mencabutnya. “AAAHH!!!!” aku menjerit. Potonan kayu itu terlepas. Darah mengalir deras. Kugertakkan gigi menahan sakit. Lumpur telah mengering di sekujur tubuhku. Bau anyir darah. Di sekelilingku ratusan…Tidak! Ribuan mayat bergelimpangan. Kugigit bibirku. Bulir-bulir air mata mengalir tak terbendung. Mengapa…? “Tuhan…” mungkinkah Dia yang telah menyelamatkan sebentuk nyawaku yang hina ini? Setelah sekian lama, aku merasa membutuhkan pertolongan ‘sesuatu’ di atas sana. Aku tak tahu dengan pasti. Apa, atau siapa. Namun sekarang aku percaya, 90% orang di dunia telah mengambil langkah yang tepat. Dan mereka bukanlah orang-orang bodoh yang naif. Justru akulah yang begitu bodoh dan naïf. Logikaku tak memberi jawaban atas keajaiban ini. Tustelku, karir, dan semua yang begitu kubanggakan selama ini… telah kehilangan arti. Suara adzan bergema. Allahu akbar Allahu akbar!. Entah dari mana… Tak kulihat satu bangunan pun disini. Aku larut dalam tangis. *Cerpen ini merupakan karya yang meraih juara kedua pada lomba penulisan cerpen se-NAD yang diadakan oleh serambi dan japan aceh net

0 comments: