“Aku sepertinya lahir dengan pena di tanganku.” Itulah yang dikatakan dengan lugas oleh penulis Harold Pinter. Sayangnya sebagian besar dari komunitas penulis tidak seperti itu, dan aku termasuk di antaranya. Saat semua dimulai, aku hanyalah siswi ‘biasa’. Baru di dunia SMA, tidak dapat beradaptasi, dan canggung dalam bergaul dengan para remaja yang terlalu bersemangat. Tak ada sahabat tempat bersandar. Benar-benar ‘biasa’. Tapi hidup berubah, itu tidak pernah aku sadari. Hingga saat aku membuka mata untuk pertama kalinya di pagi itu, secara tiba-tiba, lebih dari 100 milyar neuron di otakku berteriak. Mereka berteriak secara berbarengan, hingga susah untuk dimengerti. Aku mencoba mendiamkan mereka dengan bahasa yang ‘biasa’: marah-marah dan menangis. Namun mereka tetap tak mau diam. Terus berteriak siang dan malam. Meneriakkan berbagai hal-hal aneh, protes terhadap hal-hal yang tak dapat diterima jiwaku, dan berceloteh tiada henti. Semua terus terjadi hingga aku merasa nyaris histeris. Maka aku mencoba menulis. Mereka (para neuron-neuron itu) mengalir keluar bersama tinta pulpenku. Jeritan mereka dalam kepalaku berangsur-angsur melemah. Lalu aku melihat mereka lagi, dalam guratan huruf di kertas. Aku berhasil menyingkirkan mereka! Aku tetap menulis. Mengganti pikiran-pikiran yang ingin kuganti, memprotes hal-hal yang tidak dapat kuprotes dengan bahasa lisan, menyimpan kenangan-kenangan berharga dari masa lalu, dan melihat potret diriku yang terus berkembang tiap harinya dalam kertas di hadapanku. Aku merasakan sosokku mulai berganti sesuai irama gerakan pena. Dari sosok remaja suram, menjadi ilmuwan pemenang Nobel, seorang perawat yang terancam oleh pembunuh, mahasiswa gondrong yang kelelahan… semua sesuai dengan imajinasiku yang terbang dalam aksara-aksara yang kulukis. Kutempelkan tanda cinta, persahabatan, dan persaudaraan dalam tiap tetes tinta. Kubagi perasaan takjub, keterasingan, dan kesedihan pada dunia di luar diriku. Lalu melihat wajah-wajah berbinar dan senyum terkembang terbit dari deretan huruf-huruf yang berjajar bagai pengungsi mengantri sembako. Gerakan penaku semakin liar. Kubiarkan pikiranku mengembara. Kuberlari saat badai menerpa, kubersembunyi saat gelombang kehidupan menghadang, dan kutemukan jalan keluar saat labirin kebingungan menutupi jalanku. Semua dapat kulakukan hanya dengan menemukan pulpen dan kertas. Inilah jalanku menuju dunia luas. Akhirnya aku menemukannya… Apakah aku akan berhenti menulis? Ini berkali-kali terlintas di pikiranku. Dan para neuron yang telah terdidik memberiku jawaban praktis: Berhenti menulis berarti membiarkan neuron-neuron itu kembali berkuasa dalam diriku dan membuatku gila. Berhenti menulis juga berarti aku memutuskan kembali menjadi orang ‘biasa’ yang berjalan tiap pagi di jalan tanpa punya cinta, harapan, dan keyakinan untuk dibagi. Berhenti menulis juga berarti keluar dari dunia yang indah, dipenuhi satwa unik, dan petualangan seru tiap hari untuk kembali ke dunia yang penuh dengan orang-orang berdasi dan menjijing tas kerja. Berhenti menulis berarti berhenti hidup. Sayangnya, aku juga tahu bahwa hari dimana aku berhenti menulis pasti akan datang juga. Inilah hari ketika neuron terakhir di otakku telah dihancurkan, degup jantungku berhenti, dan paru-paruku kempis tanpa udara, lalu jari-jari dan semua organ di tubuhku berlahan membeku. Saat itu aku akan benar-benar berhenti menulis. Aku terus bergerak: Menulis! Memang lautan tidak pernah tenang selamanya dan sungai tidak pernah mengalir dengan kecepatan konstan tiap waktu. Jadi aku tahu dan mengerti bahwa saat-saat suram dalam hidupku akan datang juga. Yaitu saat-saat ketika aku merasa huruf-huruf itu menjijikkan, saat-saat pulpenku kehabisan tinta, dan saat-saat imajinasiku yang kerontang menghambat gerakku dalam menulis. Namun itu bukanlah alasan bagiku untuk berhenti menulis. Karena aku percaya selalu ada kesempatan untuk mendapat semangat, petualangan, dan pulpen baru. Aku masih disini. Menulis dalam tiap lembar kertas, ketukan keyboard computer, tombol handphone, hingga sekedar tulisan khayal dalam imajinasi. Tiap detik, menit, jam, terus-menerus sepanjang tahun. Diantara neuron-neuron yang telah kupindahkan itu ada yang hanya dapat mengintip lesu dari tumpukan kertas di kamarku. Robek, lusuh, dan menjadi bagian dari onggokan sampah. Namun mungkin juga akan ada sebagian yang dapat mengembangkan hidupnya. Tumbuh dan berlipat ganda dalam lembaran-lembaran di percetakan. Menjadi bagin dari Koran dan buku, dalam berbagai wujud: cerpen, novel, essay… Apapun itu, aku ingin selalu menulis…
Gunung Kelud Meletus
-
Gunung Kelud meletus. Baru saja negeri ini dikejutkan dengan meletusnya
gunung sinabung dan banjir di Jakarta, kini Indonesia kembali berduka.
Gunung Kelud...
10 years ago
0 comments:
Post a Comment