Jadi dokter, mungkin pilihan bagi banyak orang. Tapi tidak bagiku.
Kalau ada orang membaca tulisan ini, pasti aku dikatakan tidak bersyukur ya? atau mungkin dikatakan belagu. Semua orang mencoba masuk kedokteran. Tapi aku yang sudah dua semester di dalamnya tetap tidak dapat mencintainya?
Mengapa? Ya,mengapa?
Padahal menolong dan menyelamatkan manusia dari penderitaan itu adalah suatu kemuliaan tersendiri. Kemuliaan yang sangat besar.
Aku mencoba. Jujur, sungguh-sungguh mencoba untuk menjalani jalan ini dengan sepenuh hati. Aku mencoba membayangkan saat aku telah menjadi dokter. Aku dapat menyelamatkan jiwa manusia dari penderitaan.
Aku dapat menjaga kebahagiaan umat manusia.
Aku dapat... ah, banyak yang bisa kulakukan.
Tapi mengapa cinta itu tetap tidak datang? Jika saja aku bisa, ingin kutukarkan semua yang ada pada diriku dengan sesuatu yang membuatku dapat mencintai ilmu kedokteran.
Mengapa bayang-bayang dunia penuh konspirasi tetap memenuhi pikiranku? Mengapa aku tidak bisa seperti manusia lain? Tidak memberontak dan patuh pada apa yang dijalani.
Tidak. aku tidak bisa. Dan memang tidak akan pernah bisa. Sebab aku bukan manusia lain.
Aku hanya ingin menenangkan sedikit keliaran jiwaku. Agar aku tidak melenceng dari jalanku. Aku ingin lebih mencintai kata-kata bedah, neoplasma, infark... dan mengenal dr. Boyke, Sihombing, Sheerwood... ketimbang mencintai kata-kata pluralisme, kontekstual, filsafat, revolusi... ketimbang mengenal Osama bin Laden, Che Guavera, ahmadinejad...
Terkadang hatiku berbisik untuk memilih jalanku. Ke kiri itu seksi. Ke kanan itu Busuk. aku harus beristighfar berkali-kali.
Mengapa aku selalu memilih berkawan dengan setan?
Bisakah aku bangga dengan gelar dokter yang kelak akan disandangkan padaku?
Bisakah aku bahagia dengan stetoskop, tensimeter, dan jarum suntik? Kemana aku harus melangkah?
Sujud-sujudku selalu terganjal dengan pertanyaan. Sampai kapan?
0 comments:
Post a Comment